TEMPO.CO, Ngawi - Sejumlah pengusaha keripik tempe di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, menghentikan aktivitas produksinya. Ini dampak melambungnya harga kedelai impor yang hingga kini menembus angka Rp 9.500-10.000 per kilogram. "Mulai hari ini, untuk sementara saya berhenti produksi dulu," kata Dani Anggoro, salah seorang produsen di sentra keripik tempe Desa Ngawi, Jumat, 6 September 2013.
Penghentian produksi itu merupakan klimaks dari kenaikan harga kedelai yang melonjak secara bertahap sejak Agustus lalu. Saat bahan baku keripik tempe masih di kisaran Rp 7.500-9.200, Dani masih menjalankan usahanya. Seiring dengan pergerakan harga itu, dia mengurangi jumlah produksinya.
Saat harga kedelai normal, Rp 7.500 per kilogram, dia bisa mengolah 40 kilogram kedelai per hari. Setelah diproses, bahan baku sebanyak itu menghasilkan 80 bungkus keripik tempe dengan kemasan plastik berkode 20.08. Secara bertahap, jumlah produksinya menurun hingga 20 bungkus per hari. Apalagi, bahan lain untuk memproduksi keripik tempe juga naik, seperti minyak goreng dan tepung terigu.
Meski harga bahan produksi naik, Dani menjelaskan, nilai jual 25 keripik tempe tetap sama, yakni Rp 6.500 per bungkus. Bertahannya harga itu karena pihak pengepul dari Tuban, Lamongan, Bojonegoro, dan Yogyakarta menolak jika nilai jual keripik tempe dinaikkan. Karena itu, omzet yang diterima tidak sebanding dengan biaya produksi.
Kamini, pengrajin keripik tempe lain, menambahkan, aktivitas usahanya tidak berhenti total. Saat ada pengepul yang memesan, dia masih melayani. Tentunya dengan harga yang juga dinaikkan untuk mengimbangi biaya produksi. "Sedikit-sedikit masih produksi untuk stok pembeli yang datang langsung ke rumah," ujar produsen keripik tempe di Desa Karangtengah Prandon, Kecamatan Ngawi.
NOFIKA DIAN NUGROHO