TEMPO.CO, Jakarta - Elite politik Malaysia mungkin memang tak perlu belajar demokrasi dari Indonesia. Yang mereka lihat dari seberang Selat Malaka adalah hiruk-pikuk dan kekacauan.
Di Senayan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat lebih sibuk pelesir ke luar negeri ketimbang memperjuangkan hak rakyat. Partai politik jadi kendaraan petualang yang gemar memainkan anggaran untuk kepentingan kantongnya sendiri. Lembaga peradilan berisi hakim yang bisa mengubah putusan seenak perut.
Maka, tak perlu heran ketika seorang Zainudin Maidin, bekas Menteri Penerangan dan Pemimpin Redaksi Koran Utusan Malaysia, terang-terangan menyampaikan antipati. Ketika Presiden B.J. Habibie berpidato mengenai transisi demokrasi di Universitas Selangor, Zainudin murka. Dia menuding Habibie--dan juga Presiden Indonesia setelahnya, Abdurrahman Wahid--mencoba mengajar demokrasi pada Malaysia.
Yang jadi masalah adalah pilihan kata Zainudin yang kasar dan terkesan merendahkan. Menuding Habibie sebagai pengkhianat bangsa jelas salah dan tidak pada tempatnya.
Namun, perlukah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai turun tangan? Dalam hal ini sikap publik mendua. Di Tempo.co, separuh lebih pembaca menganggap tak perlu. Sedangkan di Yahoo! lebih dari 60 persen pembaca berpandangan sebaliknya.
SBY sendiri memutuskan untuk mengangkat masalah ini dalam pembicaraannya dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, pekan lalu. Simak selengkapnya di Majalah Tempo, edisi Senin, 24 Desember 2012.
TEMPO