TEMPO.CO, Surabaya - Banyaknya kalangan elite Nahdlatul Ulama yang terjun ke partai politik ternyata membuat gerah elemen-elemen organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Politik praktis masih menjadi persoalan yang dilematis bagi NU. Sekretaris Forum Peduli Khittah NU, KH Fachrur Rozi, mengatakan NU harus belajar dari pengalaman sebelumnya.
Menurut Fachrur, NU lebih baik tetap di khitah perjuangannya dengan memperbanyak aktivitas sosial dan memikirkan nasib masyarakat Nahdliyin. "NU lebih baik menjadi gawang moral bangsa dan Provinsi Jawa Timur, jadi gawang pengentasan kemiskinan," kata Fachrur dalam seminar "NU di Pusaran Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2013" di Gedung SAC IAIN Sunan Ampel Surabaya, Senin, 17 Desember 2012.
Ketua Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Ma'arif NU Jawa Timur, Ahmad Muzakki, menambahkan posisi NU kini ibarat pemadam kebakaran. Ketika terjadi kasus Sampang, misalnya, NU dijadikan sebagai pihak peredam masalah. "Kalau enak, dum-duman (bagi-bagi uang) dikasih ke 'tetangga' sebelah. Kalau ada masalah, NU jadi pemadam," ujarnya.
Muzakki mengakui, banyak orang yang menginginkan NU terpecah belah. Jumlah massa yang besar membuat NU termasuk organisasi kemasyarakatan yang "seksi" dan menjadi rebutan berbagai pihak. Termasuk kepentingan politik sesaat. Dengan pecahnya NU, kata dia, akan mudah untuk dihancurkan. Karena itu, Muzakki setuju bila urusan konstelasi politik diserahkan kepada partai politik. Sementara PWNU tidak akan ikut-ikutan berpolitik.
Senada dengan Muzakki, Ketua Gerakan Penyelamat NU, M Khoirur Rijal, mengungkapkan tidak salah warga NU memilih calon berbasis NU. Yang jadi masalah adalah elite NU yang dipilih untuk mengurus Nahdliyin ternyata mencalonkan diri di politik praktis. Tapi, ketika tidak menang dalam persaingan politik, mereka kembali menjabat menjadi pengurus NU tanpa rasa malu.
Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Priyatmoko, menuturkan bahwa NU menghadapi dilema menentukan dukungan kepada kader-kadernya yang hendak mencalonkan diri sebagai gubernur. Kalaupun NU memiliki lebih dari satu kader untuk terjun ke politik, tak dapat dipastikan apakah ini menghancurkan NU atau justru kompatibel dengan demokrasi. "Sekarang ini masih implisit, ada yang ngajak politik, tidak. Ada yang (bilang) politik, ya-ya-ya," ujarnya.
Menurut Priyatmoko, NU harus bisa mengambil peran di tengah kebingungan masyarakat. NU bisa menjadi pilihan alternatif dan mengkonsolidasikannya sebagai kekuatan politik. Dengan keragamannya, NU memiliki kekuatan lebih fleksibel dan adaptif. "Sekarang dilemanya, apakah NU akan membersihkan (politik) yang kotor atau turut dalam pertarungan politik?" katanya.
AGITA SUKMA LISTYANTI
Berita Lainnya:
Golkar NTT Tunduk pada Keputusan Aburizal Bakrie
Bengkulu Akhirnya Punya Gubernur
GP Ansor Jember Jagokan Gus Ipul Jadi Gubernur
Golkar NTT Bantah Tolak Keputusan Ical
Jago Ical dalam Pilgub NTT Diprotes