TEMPO.CO , Malang: Direktorat Jenderal Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi, Kementerian Kehutanan, menemukan sebanyak 60 persen dari 4.020 ekor satwa di Kebun Binatang Surabaya (KBS) mengidap berbagai penyakit menular. Tim penyeleksi diturunkan untuk memilah satwa yang sakit.
"Diobati, untuk mencegah penularan," kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Dirjen PHKA Kementerian Perhubungan Novianto Bambang di Malang, Sabtu, 15 September 2012. Satwa menderita sakit hepatitis, herpes, dan sebagainya. Satwa sakit, diduga karena kesalahan perawatan dan asupan pola makan.
"Menyembuhkan setiap satwa tak murah, sekali pengobatan Rp 500 ribu," ujarnya. Pembiayaan pengobatan satwa bersumber dari Kementerian Kehutanan dan dibantu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Surabaya. Serta sumber lain dari pendapatan lembaga konservasi dari penjualan tiket pengunjung.
Penyakit yang diderita mengancam nyawa satwa koleksi KBS. Kematian massal mengancam lembaga konservasi satwa tertua di Indonesia ini. Selain itu, total jumlah satwa KBS melebihi daya tampung. Seharusnya KBS hanya mampu menampung 3 ribu satwa. Saat ini total sebanyak 4.020 satwa yang terdiri dari 220 spesies.
Sembilan bulan terakhir 130 satwa mati karena sakit dan berbagai sebab. Novianto meminta manajemen dan pengelolaan KBS segera ditata kembali. Kementerian Kehutanan menunjuk Pemerintah Kota Surabaya mendirikan Badan Usaha Milik Daerah untuk mengelola lembaga konservasi. "BUMD Surabaya diberikan kepercayaan terlebih dulu, satwa harus diselamatkan," ujarnya.
Manajemen harus ditangani orang yang tepat, katanya, serta memiliki pengalaman dan menata manajemen lembaga konservasi. Sebelumnya, Kementerian Kehutanan menunjuk tim pengelola sementara (TPS) KBS Surabaya. Hingga saat ini, TPS berubah dua kali. Awalnya TPS dipimpin Tony Sumampau dan kedua dipimpin Hadi Prasetyo.
Pusat rehabilitasi lutung Jawa, Javan Langur Center (JLC) Batu Jawa Timur siap menerima limpahan lutung Jawa dari Kebun Binatang Surabaya menyusul kematian satwa yang terus terjadi di lembaga konservasi itu. "Sejumlah lutung mengalami kegemukan karena asupan pakan sumber lemak dan karbohidrat," kata Manajer JLC, Iwan Kurniawan.
Sedangkan pakan alami lutung berupa rumput, serangga, dan buah. Selain itu satwa ditempatkan di kandang sempit, sehingga ruang gerak satwa terbatas. Saat menjalani karantina, lutung diperiksa kesehatan penyakit TBC, Hepatitis dan Herpes.
Selanjutnya, dibentuk kelompok. Masing-masing lutung terdiri dari 7 sampai 20 ekor dengan pemimpin seekor lutung dewasa. Masa adaptasi masing-masing kelompok selama tiga sampai lima tahun. Setelah menjalani adaptasi, mereka dilatih untuk dilepasliarkan. Meliputi mengubah perilaku berupa pakan dan perilaku di alam.
Selain itu, lutung dilatih untuk memanjat pohon bergelantungan di dahan dan mempertahankan diri dari predator. Setelah siap dilepaskan ke alam, lutung menjalani pemeriksaan meliputi penyakit TBC, Hepatitis dan Herpes. Selama evaluasi, lutung siap di lepas ke habitatnya.
EKO WIDIANTO
Berita lain:
Prince William Bersumpah Lindungi Kate Middleton
Serang dan Bertahan Jelang Debat Kedua Foke-Jokowi
Jokowi: Lebih Ganteng Foke Karena Ada Kumisnya
Mourinho Minta City Lupakan Ronaldo
Pemain Anyar Chelsea Ingin Berseragam Barcelona