TEMPO.CO, Yogyakarta - Memperingati Hari Kartini, produsen Bakpia di Yogyakarta memberikan penghargaan kepada tujuh perempuan yang dinilai bisa mewakili kaum wanita sebagai perempuan Kartini. Bakpia, penganan khas Yogyakarta, memanfaatkan puluhan ribu tenaga perempuan dalam proses produksi, pengemasan, hingga pemasaran.
"Seluruh proses produksi bakpia dilakukan tidak lepas dari sentuhan tangan seorang perempuan. Mulai dari memilih bahan baku, membuat kulit dan kumbu, hingga pengemasan. Dalam sejarahnya, peran kaum laki-laki hanya sebagai pengantar yang saat itu hanya menggunakan sepeda ontel," kata Dadang EV, Manager Bakpia Djava, Yogyakarta, Sabtu, 21 April 2012.
Karena kiprah perempuan, produsen bakpia memberi penghargaan berupa tropi dan uang jutaan rupiah. Penghargaan yang disebut “Perempuan Djava Bisa!” itu diberikan kepada 7 perempuan berbagai profesi.
Menurut Dadang, menjadi perempuan inspiratif dengan keragaman profesi dan perjuangannya masing-masing memberikan kontribusi penting terhadap terciptanya habitus baru bagi lingkungan sekitarnya dan generasi mendatang.
Perempuan Kartini tersebut adalah Ibu Panut, 80 tahun, warga Giriloyo, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul, berprofesi sebagai dukun bayi; Ibu Titik, 63 tahun, single parent, warga Tegalmulyo, Wirobrajan, Yogyakarta, bekerja sebagai pemandu wisata di Keraton; dan Ibu Wahya, 51 tahun, pendiri sekolah alam untuk jenjang SD dan SMP. Selain mereka ada juga Ibu Patricia, 42 tahun, aktif di banyak kegiatan sosial terlepas dari tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Dia aktif sebagai ketua posyandu, kader kesehatan lingkungan dan kelompok pengelolaan sampah di Kelurahan Pringgokusuman, Kota Yogyakarta.
Penerima lainnya adalah Ibu Sokiyem, 31 tahun, berprofesi sebagai penambang pasir, Ibu Lilik A, 47 tahun, pendiri biro travel, dan Ibu Agus Swarti, 45 tahun, pembuat yangko, makanan khas Yogyakarta.
"Perempuan yang memiliki cerita dan perjuangan hidup bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi perempuan lainnya. Mereka adalah garda depan kehidupan," kata teguh Supriyadi, aktivis perempuan Yogyakarta.
MUH SYAIFULLAH