Ritual yang sama digelar di Klenteng Eng An Kiong di Jalan Raya Martadinata 1, Kota Malang, Selasa lalu. Puluhan warga menjejali ruang sembahyang sambil membawa dupa. Mereka sembahyang dengan bersujud ke semua rupang dewa-dewi.
"Rupang dewa disucikan maksimal sehari sebelum Imlek," kata Kepala Bidang Agama Yayasan Tempat Ibadat Tri Dharma Eng An Kiong, Bonsu Anton Triono. Pembersihan rupang, kata Anton, merupakan simbol penyucian diri umat Konghucu. Harapannya, dengan menyucikan rupang, maka dewa akan memberi keberuntungan.
Imlek memang tak terpisahkan dari agama Konghucu. Budi S. Tanuwibowo, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti), mengatakan pada awalnya Imlek dimaknai sebagai perayaan tradisi keagamaan. Di sepanjang bulan pertama itu, ada beberapa ritual agama yang dilakukan. Misalnya, sepekan sebelum Imlek merupakan hari persaudaraan, yang digunakan untuk memberi santunan.
Lalu, Budi melanjutkan, pada malam tahun baru, yang merupakan hari besar itu, dilaksanakan sembahyang untuk memohon ampunan atas apa yang telah diperbuat setahun lalu. Esok harinya adalah hari silaturahmi, ketika yang muda mengunjungi yang tua. Sedangkan sepekan setelah Imlek diadakan sembahyang dengan memanjatkan doa serta janji kepada Tuhan untuk berbuat baik sepanjang tahun ini.
Mona Lohanda, sejarawan dan peneliti dari Arsip Nasional Republik Indonesia, merasakan sendiri perbedaan perayaan Imlek seiring dengan berjalannya waktu. Menurut Mona, ketika kecil dulu, ia memahami Imlek sebagai ritual agama. "Di malam Imlek itu, kalau orang tua-tua itu tidak tidur semalam, sembahyang di altar karena itu hari baik bulan baik," ujar Mona, yang mengaku sebagai keturunan Cina peranakan.
Meskipun menganut agama Katolik, perayaan Imlek tetap dilakukan Mona dan keluarganya sebagai tradisi budaya. "Kami melakukan sembahyang di altar, tapi tidak memakai hio, meskipun pastor saya mengatakan boleh saja karena sembahyang ini lebih kepada penghormatan terhadap leluhur, bukan penyembahan terhadap patung dewa," ujarnya.
Contoh pergeseran lainnya, menurut Mona, adalah dalam pengucapan salam Imlek. "Dulu tidak ada tuh ucapan gong xi fat cai. Itu belakang ini saja muncul, mungkin karena pengaruh bahasa Mandarin," ujarnya. "Kalau orang Hokkian itu yang diucapkan, 'Selamat panjang umur dan banyak rezeki'."
Memang banyak cara dalam merayakan Imlek. Menurut Ulung Rusman, Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Inti, ada orang Tionghoa yang menjadikan momen Imlek sebagai bagian dari perayaan agama. Tapi banyak juga yang menerimanya sebagai tradisi budaya.
Selanjutnya....