TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, tenggelamnya kapal bermuatan imigran gelap menuju Australia di Trenggalek, Jawa Timur, membuktikan pentingnya melanjutkan kerja sama antarnegara di kawasan untuk mengatasi masalah migrasi tak beraturan (irregular movement of people) atau juga dikenal sebagai Bali Process.
Banyak imigran gelap yang berusaha mencari peruntungan dengan menggunakan Indonesia sebagai negara transit. Padahal, ada kemungkinan tidak terpenuhinya hak asasi imigran gelap ini. "Sebagai bagian dari solusi banyaknya hal ini, Indonesia senantiasa menawarkan diri menggulirkan proses yang dinamakan Bali Process," kata dia di Istana Negara, Selasa, 20 Desember 2011.
Bali Process merupakan kerangka kerja sama regional untuk mengawasi penyelundupan dan perdagangan manusia atau perpindahan manusia terkait kejahatan transnasional. Dibuat di Bali pada Februari 2002, kerangka kerja sama ini juga mengatur mengenai banyaknya pencari suaka dan perang terhadap perdagangan manusia. Setidaknya 50 negara dan lembaga internasional berpartisipasi dalam Bali Process yang dipimpin bersama Indonesia dan Australia.
Saat ini, Marty melanjutkan, pemerintah masih fokus pada upaya pencarian penumpang. Dari 248 imigran gelap, baru 47 orang yang berhasil diselamatkan. "Berkat kerja keras tim, maka sejumlah penumpang kapal telah berhasil diselamatkan," dia menambahkan.
Pada Sabtu 17 Desember 2011 pagi lalu, sebuah kapal pengangkut 248 imigran dari Afganistan, Turki, Iran, dan Arab Saudi, pecah dan terbalik di sekitar perairan Prigi, Trenggalek. Kapal ini rencananya membawa para imigran gelap ini ke Pulau Christmas, Australia. Dua nelayan asal Rote, Nusa Tenggara Timur, diduga turut terlibat dalam kasus tenggelamnya kapal pengangkut imigran gelap ini.
Sedang kondisi delapan orang imigran gelap asal Afganistan, Iran, dan Irak, yang menjadi korban kapal karam mulai membaik. Mereka dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, sejak Senin malam, 19 Desember 2011.
ARYANI KRISTANTI