TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutanto mengatakan masih maraknya terorisme di Tanah Air dikarenakan masih lemahnya hukum di Indonesia dan bukan karena aparat keamanan yang tidak kompak di lapangan. "Justru karena kelemahan hukum kita, harus direvisi," kata Sutanto di Istana Kepresidenan, Jakarta, hari ini, 28 September 2011.
Sutanto memberi contoh dalam menangani teroris. "Ini extraordinary crime yang membahayakan masyarakat luas , makanya harus diatur secara khusus. Undang-undang itu untuk penegakan hukum, bukan untuk intelijen. Kalau sekarang repot," ujarnya.
Dia menilai selama ini koordinasi antar aparat keamanan sudah dilaksanakan dengan lebih baik. Namun sayangnya, perangkat hukum yang menjadi landasan petugas untuk bergerak lebih jauh di lapangan masih belum cukup. Termasuk soal sulitnya menindaklanjuti informasi yang dimiliki pihak intelijen.
Ia mencontohkan, jika pihak intelijen memiliki informasi mengenai adanya pelatihan militer di suatu tempat yang diindikasikan mengarah ke perbuatan yang tidak benar. Informasi semacam itu sulit ditindaklanjuti oleh aparat mengingat belum ada hukum yang mengaturnya. "Informasi intelijen juga bukan bukti awal di pengadilan. Karena itu, perlu diperjuangkan,"katanya.
Tentu saja, menurut Sutanto, ini porsi kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk secara efektif membuat hukum bisa bekerja. "Tentunya diperlukan revisi-revisi sehingga menjangkau kegiatan yang selama ini tak terjangkau oleh hukum," kata bekas Kepala Kepolisian RI
Terkait klausul soal penangkapan dan penyadapan dalam Rancangan Undang-Undang Intelijen yang tengah dibahas di DPR, Sutanto menegaskan bahwa RUU tersebut kini tak lagi mencakup soal penangkapan. "Pasal penangkapan itu tidak ada. Kita menghormati karena itu (penangkapan) kewenangan penegak hukum," katanya.
MUNAWWAROH