TEMPO Interaktif, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat didesak untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen Negara. Sebabnya, beleid itu dinilai masih cacat dari sudut pandang keterbukaan informasi.
"Sebaiknya tidak terburu-buru mengesahkan sesuai dengan jadwal legislasi DPR, yakni pada Juli 2011," ujar Direktur Yayasan Sains Estetika Teknologi (SET), Agus Sudibyo, dalam diskusi di Restoran Bumbu Desa Cikini, Jumat 1 Juli 2011. Ia berpendapat, lebih baik parlemen menundanya untuk memperbaikinya terlebih dulu.
Menurut Agus, Yayasan SET menemukan 3 alasan mengapa RUU Intelijen harus ditunda. Pertama, ruang lingkup kerahasiaan informasi intelijen terlalu luas. Rancangan beleid itu merumuskannya tanpa penjelasan dan perincian yang memadai. Misalnya, dalam Pasal 24, kerahasiaan informasi intelijen didefinisikan sebagai sistem intelijen negara, akses yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatannya, data intelijen kriminal untuk pencegahan dan penanganan kejahatan lintas negara, rencana pencegahan dan penanganan kejahatan transnasional, serta personel intelijen negara berkaitan dengan keamanan nasional.
Masalahnya, tak ada penjabaran lebih lanjut terhadap kategori tersebut. Akibatnya, masyarakat tak bisa tahu persis mana informasi yang termasuk rahasia intelijen dan mana yang tidak. Warga negara, termasuk pers, bisa jadi baru sadar telah mengakses, membocorkan, atau menyebarluaskan informasi rahasia itu ketika dipanggil atau bahkan ditangkap aparat.
Kedua, RUU Intelijen tidak melembagakan kontrol publik. Berbeda dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, beleid tersebut tidak mengatur tentang mekanisme uji konsekuensi dan uji kepentingan publik dalam menentukan rahasia negara. Calon aturan itu tak memberi peluang masyarakat untuk mengawasi mekanisme dan proses perahasiaan informasi. RUU itu dituding tak mempertimbangkan kepentingan publik terhadap kebebasan informasi dan hanya berpijak pada kepentingan pemerintah untuk merahasiakan informasi.
Dan, ketiga, beleid intelijen itu juga memberi kewenangan penyadapan dan penangkapan bagi aparat intelijen tanpa penetapan ketua pengadilan. Ketentuan itu berpotensi mengancam hak asasi dan keselamatan warga negara, bahkan rentan diselewengkan demi kepentingan ekonomi dan politik penguasa.
BUNGA MANGGIASIH