TEMPO Interaktif, Jakarta - KPU dituding telah memusnahkan dokumen-dokumen pemilihan umum yang seharusnya disimpan sebagai arsip. Anggota Komisi II DPR dari PDI Perjuangan, Arif Wibowo, mengatakan pemusnahan dokumen arsip kepemiluan ini terungkap setelah Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyebut tentang dugaan penggelapan dokumen negara oleh salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Salah satu dokumen arsip kepemiluan yang dimusnahkan adalah Berita Acara dan Sertifikat Hasil Pemilu di tingkat TPS (Formulir C1) yang terjadi di sebagian besar daerah (KPU Kabupaten/Kota) di wilayah NKRI," kata Arif melalui surat elektronik, Kamis malam, 16 Juni 2011.
Pemusnahan dokumen ini diatur dalam Peraturan KPU No. 75 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Penghapusan Perlengkapan, Pemungutan dan Penghitungan Suara Serta Dukungan Perlengkapan Lainnya Sebagai Barang Milik Negara Di Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, dan Panitia Pemilihan Luar Negeri Dalam Pemilihan Umum.
Peraturan ini dilai melegalisasi pemusnahan dokumen negara secara sistemik, terstruktur dan masif. KPU juga dinilai melalaikan kewajiban memelihara arsip dokumen pemilu. "Tindakan pemusnahan dokumen kepemiluan tersebut jelas-jelas merupakan perbuatan melawan hukum," kata Arif. "Ini merupakan tindak pidana dan melanggar Undang-undang nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan."
KPU secara hukum menurut Arif wajib memelihara dokumen arsip pemilu sebagaimana diamanatkan Undang-undang nomor 22 Tahun 2007. Peraturan KPU tentang penghapusan dokumen seharusnya tunduk pada peraturan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pendataan, Penataan, Dan Pengelolaan Dokumen Arsip Pemilu.
Dalam Peraturan Kepala ANRI disebutkan bahwa berita acara dan sertifikasi hasil pemilu baik dari tingkat KPPS, PPS, PPK dan KPU adalah dokumen pemilu yang bersifat permanen (statis). Dokumen arsip kepemiluan tersebut tidak dapat dimusnahkan. Sebaliknya demi kepentingan nasional harus diserahkan kepada ANRI sebagai bahan pertanggungjawaban nasional.
KARTIKA CANDRA