TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Aksi puluhan ribu warga Yogyakarta yang turun ke jalan mendukung penetapan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin 13 Desember 2010 lalu, dinilai berbeda dengan era Gerakan 30 September PKI di tahun 1965.
“Gerakan 13 Desember itu kan tidak ada konflik horizontal, justru malah kompak. Ini berbeda dengan peristiwa PKI, ada perlawanan dari masyarakat,” kata Sekretaris Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (KAGAMA), Bambang Praswanto, kepada Tempo di Gedung Pusat UGM, Rabu 15 Desember 2010.
Bambang menanggapi pernyataan mantan Rektor UGM, Prof Dr Ichlasul Amal. Ichlasul, yang juga guru besar ilmu politik UGM itu sebelumnya menyatakan pengerahan puluhan ribu massa untuk mendukung penetapan Gubernur DIY seperti yang terjadi Senin 13 Desember 2010 lalu, mengingatkanya pada zaman PKI.
Bambang mengaku ingat persis peristiwa itu karena ia juga menjadi saksi sejarah. Saat itu PKI mengerahkan massa untuk memaksakan kehendak mereka. Terjadi culik menculik dan pembunuhan. Namun saat itu rakyat tak tinggal diam dan melawan. “Ini jelas berbeda dengan aksi demonstrasi (warga Yogya) di gedung dewan,” kata Bambang.
Sekretaris Jenderal KAGAMA, Budi Santosa Wignyosukarto mengatakan Ichlasul memang menyebut kata “PKI” untuk menganalogikan kejadian demonstrasi tersebut mirip peristiwa PKI tahun 1965. Pihaknya sangat menyayangkan pernyataan Ichlasul itu. “Kami alumni yang intelektualnya tinggi, memakai rasionalisasi untuk mengatakan itu, tapi penggunaan kata itu (PKI) kami sayangkan,” ujarnya.
Budi akan menanyakan pernyataan Ichlasul itu pada pertemuan dengan Ichlasul Kamis esok. Meski pada akhirnya Ichlasul menyatakan mirip peristiwa 1965, maka Budi berpandangan kegiatan yang dilakukan rakyat tidak layak kalau disimpulkan dengan kata-kata yang tidak pas. “Apalagi untuk saat itu, kata (PKI) konotasinya buruk,” katanya.
BERNADA RURIT