Mereka mengaku mewakili para guru dari 200 Madrasah Ibtidaiyah, 145 Madrasah Tsanawiyah, dan 37 Marasah Aliyah. Kesemuanya meliputi sekitar 4.000 orang guru yang bernaung di bawah lembaga pendidikan Nahdatul Ulama.
Setelah berorasi, mereka digiring polisi memasuki ruang Komisi Pendidikan DPRD. Ketua Komisi Pendidikan Fauzan memimpin pertemuan yang juga dihadiri Kepala Bidang Ketenagaan Dinas Pendidikan Bojonegoro Basuki.
Baca Juga:
Salah seorang guru, Sodikin, menjelaskan kesejahteraan guru di sekolah swasta dan sekolah negeri sangat timpang. Guru seperti dirinya menerima pembayaran berupa honor dari pihak yayasan yang mengelola sekolah Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu per bulan. Sedangkan guru di sekolah negeri, bahkan yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) menerima gaji mencapai Rp 2 juta per bulan, dan masih ditambah sejumlah tunjangan. “Padahal kemampuan akademik antara kami di sekolah swasta dan guru di sekolah negeri sama,” ujarnya.
Dipersoalkan pula tertutupnya peluang bagi mereka untuk direkrut sebagai guru di sekolah negeri dengan status PNS. Apalagi data-base tentang kebutuhan guru sekolah negeri yang dipunyai Pemerintah Kabupaten Bojonegoro tidak transparan. “Proses pengangkatan untuk menjadi guru sekolah negeri, terutama agar bisa berstatus PNS sangat tidak fair,” tutur Sodikin.
Selain itu, sekolah negeri mendapat kucuran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebaliknya, sekolah swasta hanya mengandalkan dana yayasan yang bersumber dari para donatur. Itu sebabnya, mereka mendesak pemerintah untuk merubah kebijakan berkaitan dengan anggaran pendidikan.
Baca Juga:
Menanggapi protes para guru madrasah tersebut, Kepala Bidang Ketenagaan Dinas Pendidikan Bojonegoro Basuki mengatakan, proses rekrutmen guru maupun yang berkaitan dengan data-base sudah sesuai dengan aturan. ”Semuanya dilakukan secara terbuka,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Pendidikan DPRD Bojonegoro Fauzan menjelaskan, pemerintah Bojonegoro telah menganggarkan dana Rp 6,5 miliar untuk peningkatan kesejahteraan guru. ”Hanya tinggal merinci alokasi penggunaannya,” katanya.
Pernyataan Fauzan tersebut langsung disambut kritikan Cholis Huda, salah seorang guru yang hadir dalam pertemuan itu. Sebab, pada kenyataannya, dana tersebut tidak pernah diberikan kepada sekolah swasta, seperti madrasah. ”Anda boleh ngomong, tapi mana buktinya,” ucapnya dengan nada geram. Cholis menegaskan, DPRD bertugas tidak hanya melindungi kepentingan guru sekolah negeri, melainkan juga guru sekolah swasta. SUJATMIKO.