Menurut Asmara, saat pembentukan KPP HAM Papua, Februari lalu, Komnas terlalu optimis memberikan waktu hanya dua bulan. Padahal, biasanya untuk KPP HAM Timtim dan Tanjungpriok yang pernah dibentuk, diberikan waktu selama tiga bulan. Jadi, setelah melihat beban kerja KPP HAM Papua, akhirnya permohonan agar masa kerjanya diperpanjang disetujui. Salah satu pertimbangannya adalah lokasi yang jauh dari Jakarta. Perpanjangan waktu tersebut akan dibahas dalam rapat pleno Komnas HAM, Selasa (3/4).
Wakil Ketua KPP HAM Papua Sita Purnami mengatakan perpanjangan waktu diajukan setelah pihaknya memperoleh data lengkap mengenai para petugas Polri setempat yang bertugas saat pelanggaran HAM berat terjadi di Papua, 7 Desember 2000. Data tersebut diperoleh dari Kapolda Papua, beberapa pekan lalu. Sehingga batas waktu kerja KPP HAM Papua tidak dapat diselesaikan pada 5 April mendatang. “Hari itu baru selesai pemeriksaan tambahan berdasarkan data dari Kapolda,” ujar Sita kepada Koran Tempo di ruang kerjanya, Komplek Komnas HAM Jl Lattuharhari, Jakarta Pusat.
Di samping terus melakukan pemeriksaan terhadap para saksi dan saksi korban, KPP HAM Papua akan menyampaikan laporan kerja sementara pada Rabu (4/4) kepada masyarakat di ruang rapat Komnas HAM. “Malamnya, Pak Albert (Albert Hasibuan, Ketua KPP HAM Papua, red) akan bertolak ke Papua,” kata Sita.
Ia mengakui adanya kendala dalam melaksanakan penyelidikan di Papua, yaitu wacana mengenai pelanggaran HAM berat di daerah setempat dikuasai aparat Polri. Sehingga masih dipertanyakan mengapa kasus tersebut tidak ditangani Polri dan landasan pembentukan KPP HAM Papua itu sendiri. Menurut Sita, wacana itu sengaja dikembangkan di kalangan masyarakat untuk mengaburkan persoalan.
Bukan itu saja, lanjut Sita, sebanyak 33 saksi korban menerima panggilan pemeriksaan dari aparat Polri setempat. Mereka di antaranya dituduh mengganggu keselamatan negara dan pembunuhan terhadap aparat Polri. (Jobpie Sugiharto)