Kenaikan harga beras di Bojonegoro ini berbanding terbalik dengan di lapangan. Sebab, kabupaten ini dikenal sebagai salah satu produsen beras di Jawa Timur yang menyuplai ke sejumlah kabupaten. Seperti Madura, Lumajang, Jember, Surabaya, hingga di Provinsi Bali.
Kenaikan harga beras ini, terjadi pada dua pekan terakhir. Tetapi, harga ini terus meningkat dan puncaknya pada pekan kedua bulan Juli ini. IR-64 dari harga Rp 5.200 perkilogram pelan-pelan naik hingga Rp 5.700 perkilogramnya.
Kemudian C4 naik menjadi Rp 6.000 hingga Rp 6.200 perkilogram. Rojolele, dari Rp 6200 kini naik menjadi Rp 7.000 perkilogramnya. Begitu juga pandan wangi harganya Rp 7.200 perkilogramnya. Ada juga satu jenis beras berbentuk bulat, kerap disebut cepuk harganya mencapai Rp 10.000 per kilogramnya.
Sejumlah pedagang di Bojonegoro mengaku kenaikan karena kesulitan dengan beras di pasaran. Di tingkat petani, yang biasanya mudah dan relatif murah, kini juga naik. “Semua naik,” tegas Mariati, pedagang beras di Pasar Besar Bojonegoro.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Bojonegoro, Syarif Usman mengatakan, kenaikan harga beras di Bojonegoro sebenarnya tidak perlu terjadi. Setidaknya jika naik, harganya tidak setinggi seperti sekarang ini, karena Bojonegoro termasuk daerah penghasil beras ketiga atau ke empat di Jawa Timur.
Harga naik dipicu karena, beras di Bojonegoro dibawa ke luar ke daerah lain. Misalnya, ke Provinsi Bali, yang menjadi andalan pengiriman petani di kabupaten ini.
Itu belum termasuk ke kabupaten lain termasuk ke Pulau Madura. “Ini, yang susah, memicu harga beras naik,” tegasnya pada Tempo lewat telepon, Mingu (11/7) siang.
Kepala Bulog Divisi Regional III Bojonegoro, Imam Budi, mengaku stok beras sudah aman. Sebab, selama enam bulan terakhir pengadaan kebutuhan pokok sudah disimpan. Menurutnya, kemungkinan naiknya harga beras di pasaran juga dipicu gelagat pasar.
SUJATMIKO