Pemanggilan ini terkait dengan sengketa tanah antara PT. CGP dengan para pemilik tanah di kawasan itu yaitu para purnawirawan TNI AL. “Kita harus duduk berasama, masalah ini harus segera diselesaikan untuk memberikan keadilan bagi semua pihak,” kata Ketua Komisi Hukum, Sabron Djamil Pasaribu, usai menerima perwakilan purnawirawan TNI AL pemilik tanah di Lidah Kulon di kantornya, Selasa (9/3).
Untuk menyelesaikan masalah ini, komisi Hukum sebenarnya telah melayangkan undangan kepada PT. CGP sepekan lalu, hanya saja, pertemuan yang akan digelar Selasa siang tadi batalkarena hanya dihadiri dua orang kuasa hukum PT. CGP.
Laksamana Pertama TNI-AL (Purn) Soeprajitno, yang ditunjuk mewakili para purnawirawan mengatakan, sengketa ini bermula ketika tahun 1963, sebanyak 280 prajurit dan PNS di TNI-AL membeli tanah seluas 20 hektar dikawasan Dukuh Pakis atau di sekitar kawasan TVRI jalan Mayjen Sungkono Surabaya.
Pembelian tanah ini, menurut Soeprajitno juga merupakan saran dari Panglima Kodamar IV (sekarang Lantamal) Kolonel Laut Hamzah Atmohandojo. “Saat itu, panglima Kodamar minta prajurit untuk membeli tanah dan mendirikan rumah di Dukuh Pakis,” kata Soeprajitno.
Sara dari Panglima Kodamar ini juga diperkuat dengan surat bernomor 4555.1 tertanggal 7 mei 1963 yang ditandatangani oleh Hamzah Atmohandojo. Sejak saat itu, para prajurit ini membeli tanah milik Negara seluas 20 hektar yang dibagi menjadi 280 kapling dengan harga Rp 70 ribu perkapling.
Pada tahun 1976, para prajurit ini lantas berniat membangun rumah diatas tanah itu. Tapi niatan ini tidak bisa dilakukan lantaran ada peraturan dari Pemerintah Kota Surabaya jika di kawasan itu di desain bukan untuk perumahan melainkan untuk kawasan industry dan pariwisata.
Prajurit pemilik 20 hektar tanah ini pun lantas diberi tanah pengganti di dua lokasi masing-masing 10 hektar di kawasan Simomulyo Surabaya, dan 8,5 hektar di kawasan Lidah Kulon. “Untuk yang 10 hektar di Simomulyo hingga kini tak bermasalah, tapi yang di Lidah Kulon ini yang bermasalah,” tambah Soeprajitno.
Permasalah dimulai ketika pada tahun 2001, secara tiba-tiba terjadi ikatan jual beli antara TNI-AL yang dalam hal ini Armatim dengan PT. CGP. Padahal tanah itu bukanlah milik TNI-AL melainkan milik para prajurit TNI AL.
Meski tidak pernah dilibatkan dalam proses jual beli, warga pemilik tanah setuju jika tanah ini dijual asal mereka mendapatkan ganti rugi yang layak sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). “Sesuai NJOP-nya tanah seluas 8,5 hektar itu harusnya dihargai Rp 170 miliar,” tambah dia.
Hanya saja, meski NJOPnya Rp 170 miliar, namun pihak TNI AL hanya akan memberikan ganti rugi senilai Rp 2,5 miliar dengan alasan hasil jual beli antara TNI-AL dengan PT. CGP hanya Rp 12,5 miliar. Sejak saat itulah lantas terjadi tawar-menawar ganti rugi antara TNI-AL dengan para pemilik sah tanah ini.
TNI AL sendiri menawar ganti rugi hingga empat kali, setelah Rp 2,5 miliar, lantas dinaikkan menjadi Rp 3,5 miliar, kemudian Rp 4,5 miliar dan yang terakhir tawaran yang akan diberikan oleh TNI AL sangat aneh yaitu Rp 21 Miliar. “Inikan aneh, katanya hanya dijual Rp 12,5 miliar, tapi kenapa kami ditawari Rp 21 miliar, inikan aneh,” tambah Soeprajitno.
Karenanya para purnawirawan ini meminta pihak PT. CGP menjelaskan berapa sebenarnya mereka membeli tanah dari TNI AL. “Kami hanya ingin tahu saja, yang penting kami hanya akan menjual tanah kami sesuai NJOP (Rp 170 miliar),” pungkas Soeprajitno.
Rohman Taufiq