TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah berkukuh buku berbahaya yang mengancam persatuan Indonesia perlu dilarang.
"Karena kita tidak ingin melihat Indonesia terpecah-pecah," ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Hafid Abbas di kantornya, Selasa (5/1).
Ia menuding aktivis separatis tahu beratnya perlawanan bersenjata, sehingga memilih berkampanye melalui publikasi. Buku-buku itu dinilainya bisa membentuk kesadaran kolektif yang keliru dan memicu bom waktu separatisme.
Namun ia menyatakan pemerintah tak bisa bersikap otoriter dengan serta merta melarang peredaran buku. "Kami harus membuat publikasi tandingannya dulu, meluruskan yang salah," ucapnya.
Menurut Hafid, kini Kementerian menyusun buku putih untuk melawan isu separatisme. Isu ini mendominasi 20 buku yang sedang dikaji Badan Penelitian.
Setelah buku putih rampung disusun, barulah Kementerian melansir rekomendasi pelarangannya kepada clearing house yang beranggotakan unsur Kejaksaan Agung, Kepolisian, Badan Intelejen Negara, TNI, Departemen Agama, dan Departemen Pendidikan Nasional.
Kepada Tempo, Hafid menolak mengungkapkan seluruh judul buku yang sedang dikaji, namun menunjukkan tiga di antaranya.
Buku pertama berjudul The Indigenous World 2009. Buku ini disunting Kathrin Wissendrof dan diterbitkan International Working Gorup for Indigenous Affair. Lembaga hak asasi manusia masyarakat adat yang berpusat di Kopenhagen, Denmark, itu melansirnya di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat, Mei 2009 lalu.
Hafid menyatakan buku itu bermasalah karena menyajikan Papua dalam bab tersendiri, berjudul West Papua, terpisah dari entri tentang masyarakat adat Indonesia. "Dan yang dibahas bukan masalah pembangunan di Papua, tetapi seperti memanasi masyarakat Papua untuk menuntut kemerdekaan," katanya. Bab tentang Papua itu dikelompokkan dalam kategori Australia, Selandia Baru, dan Pasifik. Sedangkan bab mengenai Indonesia dimasukkan dalam kelompok negara Asia.
Ia berpendapat perlu ada tindakan diplomatik terhadap buku itu, semisal mengirimkan nota keberatan kepada penerbit dan negara penerbitnya. "Itu tugasnya Pak Marty (Natalegawa, Menter Luar Negeri)."
Buku kedua bertajuk Hak Asasi Masyarakat Adat: UN Declaration on The Rights of Indigenous People karya Sem Karoba. Dalam buku terbitan Watch Papua dan Galang Press itu, Sem menerjemahkan Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Masyarakat Adat. Ia juga menuliskan penafsirannya atas Deklarasi, yakni hak masyarakat adat untuk merdeka. Namun, protes Hafid, Sem tidak memberi penjelasan atas pasal 46, yang terang-terang menyebutkan deklarasi tak bisa diartikan sebagai dorongan untuk aksi memecah integritas teritorial negara anggota Perserikatan.
Ia menambahkan, pada sampul buku berwarna hijau ini tercetak pula logo Perserikatan. Hafid menilai pencantuman logo itu mengesankan buku tersebut merupakan publikasi resmi Perserikatan. "Kami akan minta UN (Perseikatan Bangsa-bangsa) menegur penerbit dan penulisnya," tutur dia.
Adapun buku ketiga ialah Jeritan Bangsa: Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan karangan Sendius Wonda yang diterbitkan Galang Press.
Hafid menyebutkan banyak buku Galang Press yang mendorong aksi separatisme. Namun ia menampik jika disebut pengkajian dilakukan sebagai balasan langkah Galang Press menerbitkan buku Membongkar Gurita Cikeas yang kontroversial. Pengkajian 20 buku, tegasnya, dimulai sebelum buku Gurita Cikas dilansir.
BUNGA MANGGIASIH