TEMPO.CO, Jakarta - Pada 2 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengkubuwono IX meninggal dunia di Amerika Serikat (AS). Sebelumnya, pada 25 September 1988, Hamengkubuwono IX berangkat ke ke New York, dengan kondisi sehat. Namun, pada 2 Oktober 1988 pukul 17.00, ia muntah-muntah di Hotel Embassy Row. Saat itu, ia juga mengeluh sakit pada dadanya sehingga diberi pernapasan darurat dan dibawa ke Rumah Sakit George Washington.
Berdasarkan Majalah Tempo edisi 8 Oktober 1988, pukul 17.45, Hamengkubuwono IX dilarikan ke ruang gawat darurat karena mengalami serangan jantung. Setelah itu, pukul 20.05, ia dinyatakan telah meninggal.
Pada 6 Oktober 1988, jenazah Hamengkubuwono IX tiba di Jakarta. keesokan harinya, jenazah disemayamkan di Bangsal Kencono, Keraton Yogyakarta. Kemudian, pada 8 Oktober 1988, jenazah Sultan tiba di Imogiri untuk dimakamkan di Makam Saptorenggo di antara Hamengkubuwono VII dan Hamengkubuwono VIII.
Sejak jenazah Hamengkubuwono IX tiba di Jakarta sampai dibawa ke Imogiri, ratusan ribu orang berbelasungkawa. Keadaan bangsa yang berduka ini dapat dicatat dalam babad sebagai pemakaman terbesar pada abad ke-20. Setelah 3 bulan Yogyakarta menjadi kota kering, saat pemakaman berlangsung, hujan turun tidak disangka. Konon, itu menjadi kebiasaan, jika ada anggota keluarga keraton Yogyakarta yang meninggal dunia. Hujan juga tumben turun di Washington, D.C., ketika jenazah disemayamkan di KBRI dan diberangkatkan ke Jakarta, pada 4 Oktober 1988.
Mengacu Majalah Tempo edisi 15 Oktober 1988, sebuah teja aneh berwarna putih terlihat di atas langit Imogiri ketika pemakaman berlangsung. Selain itu, dua burung hitam yang membisu hinggap di tembok makam. Pemakaman Sultan ini juga dihadiri oleh ribuan orang yang telah datang sejak 7 Oktober pukul 14.00 sampai 8 Oktober pukul 05.00.
Seorang abdi dalem keraton mencatat bahwa sekitar 150 orang tiap menit masuk ke istana untuk menghormati Sultan. Selama 16 jam saat hari pemakaman, sebanyak 115 buku tamu habis, setelah mencatat 18.000 pengunjung. Padahal, hanya sebagian pelayat yang mengisinya.
Malam sebelum pemakaman berlangsung, sebanyak 90 kelompok pengajian bersembahyang di samping jenazah Hamengkubuwono IX. Secara bergiliran, rombongan perempuan berbaris dan khusyuk berdoa. Selain itu, satu rombongan biarawati Katolik juga hadir dalam doa dan di lantai lebih bawah orang bersemadi cara Jawa.
Pada pagi 7 Oktober 1988, sejak jenazah tiba di Bandara Adisucipto, suasana sangat hening dari alun-alun utara. Hanya ada suara perempuan membaca Al-Quran di masjid dan harum melati, mawar, serta dupa di mana-mana. Menurut putri Sultan, B.R.A.Y. Kuswarjanti, ada tiga kuintal melati dan satu kuintal mawar yang digunakan. Sebanyak dua kuintal di antaranya adalah sumbangan dari Universitas Gadjah Mada.
Lalu, sekitar 30 menit usai lonceng keraton Kiai Brajanala dibunyikan 9 kali, ambulans datang membawa jenazah Hamengkubuwono IX. Menteri Soepardjo Rustam menyerahkan jenazah dari pemerintah ke tangan keluarga yang diwakilkan putra tertua Hamengkubuwono IX, Mangkubumi. Saat peti dibuka, jenazah tidak mengenakan pakaian adat Jawa karena meninggal dunia di AS. Namun, jenazah tetap ada untaian melati bawang sepanjang semeter, dua kendi, kain mori putih, sapu lidi, dan kentongan bambu.
Kemudian, gending Monggang berbunyi dilantunkan oleh gamelan Kiai Guntur Laut. Lalu, pukul 08.30, jenazah Sri Sultan Hamengkubuwono IX diangkat oleh 14 prajurit Kopassus bersama dengan para pangeran. Di bawah payung agung Songsong Jene, perjalanan kebesaran ke bukit Imogiri dimulai. Di Regol (Pintu) Magangan, peti dengan tubuh raja itu dinaikkan ke kereta berkuda yang telah menanti dan dilepas oleh para pengantar untuk selama-lamanya menuju peristirahatnnya terakhir di Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri.
RACHEL FARAHDIBA R | MAJALAH TEMPO
Pilihan Editor: Kilas Balik Kabar Duka 36 Tahun Lalu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX Wafat di Washingtron DC