CLCS: Pukul mundur demokrasi
Direktur CLCS Dhoni Zustiyantoro menilai penghapusan nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 sebagai bentuk manuver kekuasaan yang memukul mundur demokrasi.
"Hal yang patut dicurigai justru adalah manuver kekuasaan yang muncul di setiap akhir kekuasaan," kata Dhoni, Ahad, 29 September 2024. "Belakangan ini manuver itu semakin gamblang kami lihat dan terus memukul mundur demokrasi."
Menurut dia, penyebutan nama Soeharto dalam Tap MPR merupakan bagian dari tuntutan reformasi. Serta mencerminkan upaya bangsa untuk melawan KKN yang menjamur selama masa kepemimpinan Presiden Indonesia ke-2 tersebut.
Dhoni menyebut, pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR sebagai langkah mundur memperjuangkan cita-cita reformasi.
"Secara konstitusional, penyebutan nama Soeharto merupakan langkah progresif dan produk sejarah yang patut untuk dipertahankan," tuturnya.
Ketetapan tersebut, kata dia, tidak hanya berfungsi sebagai instrumen hukum. Selain itu juga pengingat sejarah tentang upaya reformasi besar-besaran yang melibatkan rakyat dan mahasiswa.
"Sejarah mencatat TAP MPR sebagai representasi dari perjuangan melawan otoritarianisme dan penyalahgunaan kekuasaan," ucap dia.
Amnesty International Indonesia: Preseden buruk
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut keputusan itu justru menciptakan preseden buruk untuk masa mendatang.
"Membuka jalan pemutihan dosa-dosa penguasa masa lalu," kata Usman dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 26 September 2024.
Menurut dia, pengusutan kejahatan korupsi, kerusakan lingkungan, hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh Soeharto selama 32 tahun berkuasa belum selesai diungkap.
Usman menilai, keputusan menghapus nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11/1998 bakal berdampak bagi masyarakat sipil dan para korban kejahatan masa lalu.
"Kian menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil, juga menyempitkan ruang gerak korban kejahatan masa lalu untuk menyuarakan hak-haknya," ujarnya.
Usman juga mengkritik gagasan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Dia mengatakan, gagasan itu telah melecehkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu karena hingga kini para keluarga korban masih menuntut keadilan dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Soeharto.
"Jika itu diambil, ini jelas berpotensi mengkhianati Reformasi 1998, yang berusaha menjamin tegaknya kebebasan politik dan keadilan sosial," kata Usman.