TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi PDI Perjuangan, Mercy Chriesty Barends, mengkritik fenomena vote buying atau membeli suara dalam pemilihan anggota dewan. Politikus asal Maluku itu menilai vote buying telah menjadi praktik yang dinormalisasi oleh masyarakat Indonesia.
"Memilih anggota DPR hari ini, semuanya vote buying, membeli suara, bayar masyarakat. Atau ada juga masyarakat yang datang, sambil menyodorkan ribuan suara," kata Mercy, saat menjadi pembicara di agenda diskusi publik Kemitraan Indonesia, Jumat, 27 September 2024.
Dampak buruk dari kehadiran vote buying, kata Mercy, akan memicu lahirnya demokrasi yang tidak bersih. Walhasil, masyarakat sendiri yang bakal menjadi korban akibat hadirnya kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan regulasinya.
Mercy berharap, praktik vote buying untuk menjadi anggota dewan itu bisa segera diubah, supaya tercipta tatanan yang baru dalam memilih pemimpin di Tanah Air. Kendati begitu, keinginan untuk menghilangkan vote buying ini dianggap sebagai upaya yang utopis dan bakal sulit untuk direalisasikan.
"Karena sistem ini telah terbentuk secara struktural, membentuk sebuah tatanan nilai baru, serta terjadi normalisasi, terjadi pembenaran terhadap segala sesuatu yang terjadi," ujar Mercy, yang sudah menjadi anggota DPR sejak 2014.
Mercy menuturkan, hanya anggota dewan itu sendirilah yang bisa menghentikan fenomena vote buying tersebut. Maka dari itu, dia bersama beberapa koleganya di DPR, mengklaim sudah mencoba memperbaiki sistem ini, serta berupaya menciptakan demokrasi yang sehat.
"Percayalah masih ada banyak anggota DPR hari ini yang mau bekerja mati-matian mengurus rakyat. Walau saya tahu, bahwa masih banyak juga yang ditangkap KPK," ujar Mercy.
Pilihan Editor: Jokowi Berkali-kali Sebut Ide Pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta Digagas Sejak Era Sukarno