INFO NASIONAL - Ketua MPR RI ke-16, Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan, pimpinan MPR telah menerima surat dari Fraksi Partai Golkar tertanggal 18 September 2024 perihal kedudukan pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998.
Berdasarkan putusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan Pimpinan Fraksi DPD pada 23 September 2024, pimpinan MPR menyepakati kedudukan hukum pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 yang menyatakan masih berlaku oleh TAP MPR Nomor I/MPR/2003.
Baca juga:
"Namun terkait penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP Nomor XI/MPR/1998 tersebut secara pribadi Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan, karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," ujar Bamsoet usai Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR 2019-2024 di Gedung Parlemen, Jakarta, pada Rabu, 25 September 2024.
Selain itu, pimpinan MPR juga menerima surat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, perihal Kedudukan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid.
Berdasarkan kesepakatan Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan Pimpinan Fraksi DPD pada 23 September 2024, Bamsoet mengatakan, Pimpinan MPR menegaskan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi, sebagaimana dinyatakan oleh Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai 2002.
Sebelumnya, pimpinan MPR juga menerima surat dari Menteri Hukum dan HAM tertanggal 13 September 2024, perihal Tindak Lanjut Tidak Berlakunya TAP Nomor XXXIII/ MPRS/1967.
Berdasarkan kesepakatan pada Rapat Pimpinan MPR pada 23 Agustus 2024, Pimpinan MPR menegaskan, sesuai pasal 6 TAP Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Materi dan Status Hukum Seluruh TAP MPRS dan TAP MPR mulai 1960 sampai 2002, TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS /1967 telah dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sehingga, kata dia, tuduhan pengkhianatan terhadap Bung Karno telah digugurkan demi hukum oleh Keputusan Presiden Nomor 83/TK/2012 tentang Gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno. Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 25 huruf e UU Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
"Seluruh hal tersebut dilaksanakan pimpinan MPR sebagai bagian dari penyadaran kita bersama untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan,” ujarnya.
Ia mengatakan, MPR adalah penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya, sudah sepantasnya dalam kerangka itu MPR merajut persatuan bangsa.
“Karenanya, pimpinan MPR RI mendorong agar jasa dan pengabdian dari mantan Presiden Soekarno, mantan Presiden Soeharto, dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, termasuk gelar Pahlawan Nasional," kata Bamsoet.
Dia berpesan, jangan sampai ada warga negara Indonesia, apalagi seorang pemimpin bangsa yang harus menjalani sanksi hukuman tanpa adanya proses hukum yang adil. Menurutnya, tidak perlu ada lagi dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu, apalagi terlibat pada berbagai peristiwa kelam di masa lalu.
'MPR adalah aktualisasi dari permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia. Sudah sepantasnya dalam kerangka itu, MPR merajut persatuan bangsa. Layaknya benang yang mengikat kain berbagai warna, MPR menganyam harapan dan cita-cita bangsa dalam satu harmoni,' pungkas Bamsoet. (*)