TEMPO.CO, Jakarta - Kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib memasuki tahun ke-20 pada Sabtu, 7 September 20204. Munir tewas diracun arsenik saat dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia menuju Amsterdam, Belanda, untuk melanjutkan studinya. Hingga kin, misteri di balik kematiannya masih belum terungkap sepenuhnya.
Sejauh ini hanya dua orang yang dihukum terkait kasus tersebut, yaitu pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, dan Direktur Utama Garuda, Indra Setiawan. Indra dinyatakan bersalah karena memberikan kesempatan kepada Pollycarpus untuk membunuh Munir dengan menempatkannya di bagian keselamatan penerbangan.
7 Kejanggalan Kasus Munir
1. Keanehan Pollycarpus
Kasus pembunuhan ini menyimpan banyak kejanggalan. Pollycarpus, yang saat itu berstatus sebagai pilot, sebenarnya sedang dalam masa cuti, namun Indra Setiawan tetap memberinya surat tugas.Tiga hari sebelum keberangkatan, Munir menerima telepon dari seseorang yang bernama Pollycarpus. Dalam panggilan tersebut, Pollycarpus memastikan bahwa Munir harus naik penerbangan GA 974.
2. Kebebasan Pollycarpus
Salah satu kejadian paling mengecewakan dalam kasus Munir adalah ketika Pollycarpus mendapat banyak pengurangan hukuman. Pada Januari 2008, setelah Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali, Pollycarpus dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Namun, saat Pollycarpus mengajukan peninjauan kembali, hukumannya dikurangi menjadi 14 tahun.
Pada akhirnya, pada 28 November 2014, Pollycarpus dibebaskan bersyarat. Secara keseluruhan, ia mendapatkan remisi yang cukup besar, yaitu 4 tahun, 6 bulan, dan 20 hari. "Kami sudah melalui prosedur, sudah menjalani hukuman. Pokoknya kami sudah ikuti semua aturan," ujarnya.
Selama persidangan, terungkap bahwa Pollycarpus sering dihubungi oleh nomor telepon khusus milik Deputi V Badan Intelijen Negara Bidang Penggalangan dan Propaganda, Mayor Jenderal (Purn) Muchdi Pr. Namun, Pollycarpus mengklaim baru mengenal Muchdi saat persidangan, dan Muchdi pun menyatakan hal yang sama. Menurut Muchdi, siapa pun bisa menghubungi Pollycarpus dari nomor tersebut, tetapi ia menegaskan bahwa bukan dirinya yang menelepon.
3. Keanehan Pemberian Racun
Kemungkinan besar racun arsenik yang menyebabkan kematian Munir pada 2004 masuk ke tubuhnya saat ia transit di Singapura dalam penerbangan Garuda dari Jakarta menuju Amsterdam. Misteri kematian Munir dapat terungkap jika diketahui dengan siapa saja ia berinteraksi selama transit.
Saat sidang peninjauan kembali putusan Mahkamah Agung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2007, kesaksian baru dari Raymond Latuihamalo alias Ongen menjadi kunci. Ongen awalnya menyatakan bahwa ia melihat Pollycarpus memberikan minuman kepada Munir, namun kemudian mencabut kesaksiannya di pengadilan.
4. Ketidakkonsistenan Kesaksian Ongen
Versi pengadilan, Ongen memesan teh di Coffee Bean saat transit di Singapura untuk minum obat. Ia berada sekitar 2 meter dari Munir, yang saat itu bersama seorang pria, namun bukan Pollycarpus. Ongen bahkan menyatakan tidak melihat Pollycarpus di Bandara Changi. "Saya melihat seorang pria, tapi bukan dia," katanya sambil menatap Pollycarpus pada 22 Agustus 2007.
Versi berita acara pemeriksaan (BAP), Ongen menyebut bahwa ia melihat Pollycarpus membawa minuman dan memberikannya kepada Munir. Sambil minum, Ongen mengaku melihat Munir berbincang dengan Pollycarpus. Namun, keterangan ini kemudian dicabut.
5. Dugaan Keterlibatan BIN
Muchdi Prawiro Pranjono, yang merupakan Deputi V BIN pada saat itu, pernah menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan Munir. Namun, pada 31 Desember 2008, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan untuk membebaskannya dari semua dakwaan.
Selama periode sebelum dan setelah pembunuhan Munir, diduga ada lebih dari 40 kali komunikasi telepon antara Muchdi dan Pollycarpus. Bahkan, pada hari pembunuhan Munir, tercatat ada 15 kali percakapan telepon antara Muchdi dan Pollycarpus. Di sisi lain, Indra mengaku menerima permintaan dari BIN, tetapi membantah keterlibatannya dalam konspirasi pembunuhan Munir.
6. Hilangnya Laporan TPF
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah membentuk tim pencari fakta untuk mengungkap kebenaran dalam kasus ini. Hasil investigasi dari tim tersebut diserahkan langsung kepada Presiden Yudhoyono pada 24 Juni 2005. Namun, selama masa kepemimpinan SBY, dokumen tersebut tidak pernah dipublikasikan.
Setelah pergantian rezim kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), tiba-tiba dokumen laporan TPF dinyatakan hilang. Kehilangan laporan tersebut baru diketahui pada pertengahan Februari 2016. Saat itu, KontraS mengunjungi kantor Sekretariat Negara untuk meminta penjelasan dan mendesak agar hasil laporan TPF mengenai pembunuhan Munir segera diumumkan.
7. Keengganan Negara untuk Menuntaskan Kasus Ini
Dua puluh tahun tahun berlalu, namun kasus pembunuhan Munir tak kunjung menemukan titik terang. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengungkapkan bahwa terdapat ketidakmauan dari negara untuk menyelesaikan kasus ini.
Minimnya keinginan negara untuk membuka kembali kasus Munir tercermin dari hilangnya dokumen TPF yang sulit diterima oleh nalar. Sementara itu, TPF sendiri merupakan tim yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004. Pembentukan TPF ini menjadi langkah penting dalam mengungkapkan aktor intelektual dibalik meninggalnya Munir. Tetapi, dokumen hasil penyelidikan TPF atas kematian munir dinyatakan hilang.
“Sayangnya pemerintah tidak pernah mengumumkan laporan TPF, meski Keppres 111/2004 memandatkannya,” tutur Usman dalam keterangan tertulis pada Jumat, 6 September 2024.
Pada Oktober 2016, Komisi Informasi Publik Pusat sempat meminta pemerintah untuk segera mengumumkan isi laporan TPF tersebut. Tetapi, Kementerian Sekretariat Negara mengungkapkan bahwa mereka tidak memiliki dokumennya.
Usman juga menggarisbawahi berhentinya langkah pemerintah dalam menuntaskan hasil penyelidikan baik dari kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Menurut dia, kemampuan aparat penegak hukum Indonesia sebenarnya tidak perlu diragukan lagi. Namun, kemampuan aparat penegak hukum itu terhalang oleh keengganan politik untuk mengambil sejumlah langkah hukum dalam menuntaskan kasus kematian Munir.
NOVALI PANJI NUGROHO | JULI HANTORO | MOHAMMAD HATTA MUARABAGJA
Pilihan Editor: Cerita Mendiang Aktivis HAM Munir dan Ayam Jago Pelung Peliharaannya