TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai, pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 telah terjadi praktik memborong tiket partai politik (parpol) dan mengakibatkan keterputusan aspirasi pencalonan.
“Pada 2024, ditemukan karakter yang lebih khas dibandingkan 2015 sampai 2020 di mana sentralisasi pencalonan dan hegemoni pengurus pusat parpol melalui rekomendasi dari dewan pengurus pusat (DPP) yang wajib itu membuat banyak ketidakpuasan di sejumlah daerah akibat adanya keterputusan aspirasi pencalonan,” ujar Titi dalam webinar pada Ahad, 8 September 2024.
Dia mengatakan, keterputusan aspirasi tersebut salah satunya tercermin dalam Pilkada Jakarta 2024.
“Di Jakarta ada Anies Baswedan dan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Kok yang dicalonkan lain? Apalagi diimpor dari gubernur provinsi sebelah. Nah, itu yang menjadi problem,” katanya.
Gerakan coblos semua paslon
Menurut Titi, akibat keterputusan aspirasi pencalonan tersebut dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Hal ini, lanjut Titi, menimbulkan ekspresi ketidakpuasan dengan adanya gerakan mencoblos semua kandidat pasangan calon (paslon).
“Lalu, di daerah-daerah calon tunggal ada gerakan tandingan mendaftarkan kotak kosong setelah calon tunggal didaftarkan. Misalnya, di Kota Pangkalpinang, Asahan, Gresik, serta beberapa daerah lain,” kata dia.
Titi mengatakan, ketidakpuasan tersebut turut membuat suara kosong, kotak kosong, atau gerakan tidak memilih calon tunggal menjadi wacana yang dibahas di ruang publik.
Calon tunggal bukan agenda lokal
Titi menilai, calon tunggal pada Pilkada 2024 bukanlah agenda lokal, melainkan ekses dari agenda elite nasional.
“Kemudian ada penetrasi melalui rekomendasi DPP parpol yang hanya menghasilkan calon tunggal,” kata Titi.
Dia menuturkan, calon tunggal di pilkada bukan hanya soal permasalahan daerah atau demokrasi lokal di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tetapi telah menjadi sesuatu yang diciptakan oleh propaganda politik nasional.
Titi menyebutkan fenomena calon tunggal saat ini memiliki pola dengan memborong dukungan mayoritas partai politik, mulai dari 12 hingga 18 dukungan.
Meski demikian, dia mengatakan fenomena tersebut sempat terselamatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah.
“Tangerang Selatan hampir calon tunggal, 16 partai versus satu partai. Selamat karena putusan MK,” ujarnya.