TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, meyayangkan tidak ada lagi insiatif formal dan upaya hukum dari negara untuk menyelidiki kembali perkara pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib.
Padahal, kata Usman, pembunuhan Munir menjadi simbol masalah kekerasan struktural di Indonesia.
“Munir adalah orang yang banyak mengadvokasi pelanggaran HAM dan kekerasan struktural di Indonesia,” kata Usman saat acara peringatakan 20 tahun pembunuhan Munir di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Kamis, 5 September 2024.
Usman mengatakan pembunuhan Munir diartikan sebagai tindakan menghentikan perjuangan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Eks anggota Tim Pencari Fakta Pembunuhan Munir ini menuturkan bahwa kasus Munir juga diduga melibatkan sistem negara, wabilkhusus Badan Intelijen Negara atau BIN.
“Bahkan melibatkan Badan Usaha Milik Negara yaitu Garuda Indonesia,” tuturnya. “Jadi ada aspek sistemik dalam pembunuhan Munir.”
Motif pembunuhan Munir sulit dilepaskan dari perjuangannya mereformasi sistem militer dan demokrasi. Sebelum pembunuhan, Munir memang menyoroti Rancangan Undang-Undang TNI Tahun 2004 dan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tahun 2004.
“Kedua Undang-Undang itu disahkan tidak jauh saat momen Munir dibunuh,” ujarnya.
Pada 2004, Munir Said Thalib melakukan perjalanan ke Belanda untuk menempuh pendidikannya di Universitas Utrecht, Amsterdam. Pesawat yang ditumpangi oleh Munir sempat melakukan transit di Bandara Changi, Singapura. Namun, Munir Said Thalib justru tewas dibunuh pada 7 September 2004 dalam penerbangan tersebut, yakni Jakarta-Amsterdam, pesawat Garuda Indonesia GA-974.
Dua jam sebelum pesawat tiba di Bandara Schipol, Amsterdam, Munir dinyatakan telah meninggal. Sebelumnya, dirinya sempat merasa sakit perut usai meminum segelas jus jeruk. Kesakitan tersebut dirasakannya sekitar pukul 08.10 waktu setempat. Menurut kesaksian setempat, setelah pesawat lepas landas dari transitnya di Bandara Changi, Munir sempat beberapa kali pergi ke toilet dan terlihat seperti orang yang sedang mengalami kesakitan.
Saat itu, Munir sempat mendapat pertolongan dari penumpang lain yang berprofesi sebagai dokter. Pertolongan ini mengharuskan Munir dipindahkan tempat duduknya ke sebelah bangku dokter. Namun, tidak lama menjalani perawatan dari dokter, Munir dinyatakan telah meninggal. Munir meninggal ketika pesawat berada pada ketinggian 40.000 kaki di atas Rumania.
Dua bulan setelah kematian Munir, pihak kepolisian Belanda menyatakan bahwa Munir meninggal dunia karena diracuni oleh seseorang. Sebab, senyawa arsenik ditemukan di dalam tubuhnya usai autopsi dilakukan. Senyawa itu diketahui terdapat di dalam air seni, darah, dan jantung yang jumlahnya melebihi kadar normal. Hingga hari ini, 20 tahun kasus Munir bergulir tanpa menemukan titik terang.
Pilihan Editor: Amnesty Sebut Pidato Paus Fransiskus Menegur Konflik Bersenjata di Papua
MUTIARA ROUDHATUL JANNAH