TEMPO.CO, Jakarta - Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia atau ILUNI FHUI menentang adanya praktik pembegalan demokrasi di Tanah Air yang dilakukan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Hal ini merespons sikap pembangkangan DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi atau MK soal Undang-undang Pilkada.
Sehari pascaputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dibacakan, DPR lewat Badan Legislasi atau Baleg menggelar rapat panitia kerja atau panja untuk membahas RUU Pilkada itu pada Rabu, 21 Agustus 2024. Dalam pembahasannya, Baleg DPR menyepakati untuk tidak mengakomodir putusan MK soal aturan ambang batas pencalonan kepala daerah.
Dalam perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK menurunkan aturan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk partai politik. MK menyatakan, seluruh partai politik peserta pemilu, baik yang mendapatkan kursi di DPRD ataupun tidak, bisa mendaftarkan dan mengusung pasangan calon kepala daerah.
Ketua Umum ILUNI FHUI, Rapin Mudiardjo mengatakan, praktik semacam itu merupakan ancaman serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum bagi Indonesia. Menurut dia, sikap DPR yang menganulir putusan MK sebagai tindakan pembangkangan terhadap konstitusi.
"Hal ini merupakan preseden buruk yang merusak tatanan bernegara, seakan keberadaan putusan MK yang berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 24C Undang-undang Dasar NRI 1945, hanyalah secarik tulisan tanpa makna," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu, 21 Agustus 2024.
Ia menyatakan, pengabaian putusan MK oleh DPR ini menjadi cerminan buruknya supremasi hukum di Indonesia. Akibatnya, kata Rapin, negara dengan supremasi hukum bakal mendapat stigma negatif secara global.
Tak hanya itu, ia menilai Indonesia kemungkinan akan kehilangan reputasi baik di mata komunitas internasional. Buruknya supremasi hukum di Indonesia, ujarnya, juga membuat negara-negara lain enggan bekerja sama di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi.
Padahal, katanya, saat ini pemerintah sedang membutuhkan dana untuk pembangunan mega proyek era Presiden Joko Widodo. Ia menilai, ekosistem hukum Indonesia sekarang ini yang jauh dari nilai-nilai demokratis, bakal membuat calon investor berpikir dua kali untuk berinvestasi di Indonesia.
Rapin juga mengungkapkan, dampak dari lemahnya supremasi hukum ini berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi hukum. Hal ini, menurut dia, dapat menyebabkan disintegrasi sosial.
"Di berbagai lini juga berdampak pada meningkatnya kejahatan dan keresahan di kalangan masyarakat," ujarnya.
Ia mengatakan, sikap ketidakadilan berkelanjutan yang ditunjukkan pemerintah ini juga bisa memicu protes massal dan menciptakan kerusuhan. "Artinya, terlalu banyak yang dipertaruhkan dengan adanya proses pembegalan demokrasi ini, hanya untuk melanggengkan kepentingan segelintir elite-elite politik di negara ini," kata Rapin.
Padahal, ujarnya, supremasi hukum semestinya dijaga dan dipertahankan demi kelangsungan demokrasi yang sehat dan berkeadilan. Karena itu, ILUNI FHUI mendesak DPR dan pemerintah agar tidak melanjutkan pembahasan RUU Pilkada ini.
Sebab, menurut dia, pembahasan RUU Pilkada ini dilaksanakan secara sembrono dan hanya demi kepentingan politik golongan tertentu menjelang Pilkada serentak 2024. Selain itu, ILUNI FHUI menuntut DPR dan pemerintah mengedepankan materi dan norma yang ada di putusan MK.
"Kami juga mengimbau agar seluruh lapisan masyarakat untuk terus mengawal proses revisi UU Pilkada," ucapnya.
Pilihan Editor: Putusan Pilkada Jadi Pembahasan di Media Sosial, Jokowi: Yang Ramai, Tetap Si Tukang Kayu