TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto membeberkan alasannya mengungkit kembali pidato Presiden Joko Widodo empat setengah tahun silam. Hasto menuding pidato kepala negara itu menunjukkan keinginan Jokowi menggunakan penegak hukum untuk kekuasaan.
"Karena hukum (hari ini) banyak disalahgunakan terhadap yang kritis. Apa itu bukan intimidasi?" kata Hasto ditemui di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta pada Ahad, 18 Agustus 2024.
Menurut Hasto, pernyataan Jokowi itu berbahaya bagi demokrasi sehingga tidak bijak disampaikan oleh seorang presiden. Sekalipun pidato itu disampaikan pada November 2019 lalu. "Mau di konteks apa pun itu pidato yang tidak bijak, ya, mau di 2019 tetap tidak bijak," ujarnya.
Hasto sebelumnya memutar rekaman suara Jokowi yang dinilainya menggunakan penegak hukum untuk intimidasi pada Sabtu, 17 Agustus kemarin. Rekaman tersebut berbunyi, "Kalau masih ada yang main-main, .... Lewat cara saya. Bisa lewat KPK, bisa. Bisa lewat Polri, bisa lewat Kejaksaan. Akan saya bisikkan saja, 'Di sana ada yang main-main'. Cuma masa saya mau intip sendiri kan enggak mungkin."
Pernyataan itu diketahui disampaikan Jokowi saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat pada 13 November 2019.
Tudingan Hasto itu telah dibantah pihak Istana. Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana mengatakan tudingan yang disampaikan Hasto tidak benar.
Adapun konteks pernyataan Jokowi dalam acara lima tahun lalu itu, kata Ari, agar tidak ada pihak manapun yang main-main dan menghalangi agenda besar pemerintah lima tahun ke depan. Antara lain, penciptaan lapangan kerja dan memperbaiki kinerja ekspor serta impor yang semuanya adalah untuk kepentingan bangsa juga negara.
Merespons itu, Hasto mengklaim memiliki cukup fakta untuk membuktikan tudingannya terhadap Jokowi. Dia menyebut, misalnya, ketika presiden mengumpulkan penjabat kepala daerah di Istana Negara, Jakarta pada Oktober 2023.
Di forum itu, presiden menyebut bakal mengevaluasi secara harian ke penjabat kepala daerah sehingga dia mengingatkan untuk tidak 'miring-miring' dalam bertugas. Jokowi menegaskan akan mengganti penjabat kepala daerah yang 'miring-miring' tersebut.
Hasto menganggap imbauan Jokowi kepada penjabat kepala daerah itu sebagai intimidasi presiden yang menggunakan kekuasaannya. Dia menyoroti ihwal adanya sejumlah penjabat kepala daerah yang diganti presiden ketika Pemilu 2024.
Dia menilai, Jokowi memakai kekuasaannya untuk merotasi penjabat kepala daerah yang tidak menuruti kepentingan politik elektoralnya. "Buktinya Pj kalau enggak mau dukung mereka, diganti. Buktinya banyak Pj-Pj yang diganti," kata dia.
Pada Pemilu 2024, Jokowi kerap dituding melakukan cawe-cawe politik untuk memenangkan Prabowo Subianto yang berpasangan dengan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.
Dalam fakta persidangan sengketa Pilpres 2024, politisasi bansos dan mobilisasi aparatur disinggung dan diperkuat lewat dissenting opinion dari tiga hakim Mahkamah Konstitusi. Namun MK menyatakan Jokowi tidak terbukti melakukan intervensi dalam pemilu.
Tudingan ini juga telah dibantah dua anak buah Jokowi. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menepis isu rotasi penjabat kepala daerah untuk memudahkan Presiden Jokowi dalam cawe-cawe di Pilkada 2024. "Tidak ada, tidak ada hubungannya," ujar Tito di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Senin, 24 Juni 2024.
Senada, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mengatakan pergantian penjabat gubernur sejumlah provinsi murni merupakan tata kelola pemerintahan dan tidak ada unsur politis. "Kami dari Kantor Staf Presiden harus menegaskan proses ini adalah murni tata kelola pemerintahan yang diatur oleh Kemendagri. Sama sekali tidak ada unsur politik tentang siapa calon gubernur dan lain-lain," ujar Ngabalin kepada wartawan di Jakarta, Ahad, 23 Juni 2024.
Pilihan Editor: Polemik Hasto PDIP dan Grace Natalie soal Kritik Jokowi