TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, diduga mempublikasikan artikel di dua jurnal predator. Artikel tersebut diduga bakal dijadikan poin atau kredit oleh Bahlil untuk memenuhi syarat program doktor atau Strata Tiga (S3) di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia.
Kedua tulisan ilmiah Bahlil itu berjudul “Nickel Down Streaming in Indonesia: Policy Implementation and Economic, Social, and Environmental Impacts” serta “Into Sustainable and Equitable Nickel Downstreaming in Indonesia: What Policy Reforms are Needed?”. Artikel pertama diterbitkan di Kurdish Studies –jurnal yang konsen menerbitkan tulisan tentang suku Kurdi di kawasan Timur Tengah. Selanjutnya artikel kedua terbit di Migration Letter –jurnal yang konsen menerbitkan tulisan tentang perpindahan penduduk.
Kedua karya Bahlil ini membahas tentang hilirasi nikel di Indonesia, baik mengenai implementasi kebijakan dan dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan, maupun agenda reformasi hilirisasi nikel.
Bahlil mengirim artikelnya ke Kurdish Studies pada Oktober 2023. Lalu Kurdis Studies menerbitkannya pada 17 Januari 2024, dengan registrasi volume 12 nomor 1 pada 1 Januari 2024. Lalu artikel kedua Bahlil terbit di Migration Letters pada 17 Januari 2024.
Bahlil menjadi penulis pertama pada kedua jurnal tersebut. Lalu penulis berikutnya adalah Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) periode 2020 – 2024, Chandra Wijaya; Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, serta Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Athor Subroto. Chandra merupakan promotor Bahlil sebagai mahasiswa program doktor pada SKSG Universitas Indonesia. Lalu Teguh dan Arthor adalah Co-Promotor Bahlil di program doktor tersebut.
Guru Besar UI Sulistyowati Irianto mengatakan, kedua jurnal itu diduga predator. Sebab, kedua tulisan karya Bahlil itu membahas tentang hilirisasi nikel, tapi diterbitkan di dua jurnal yang cakupannya bukan pada karya-karya ilmiah soal nikel.
Ia mengatakan cakupan bidang ilmu Kurdish Studies seharusnya pada urusan Suku Kurdi. Lalu Migration Letters seharusnya hanya menerbitkan artikel mengenai perpindahan masyarakat. Sedangkan tulisan Bahlil tentang hilirasisi nikel. “Itu saja sudah jadi pertanyaan besar buat kami,” kata Sulistyowati, kemarin.
Kejanggalan berikutnya, kedua jurnal tempat publikasi karya Bahlil sudah masuk kategori jurnal discontinued atau dihentikan oleh Scopus. Jurnal discontinued artinya jurnal yang dihentikan karena berbagai alasan, seperti pelanggaran etika publikasi, kualitas penelitian yang buruk, dan penyalahgunaan sistem.
Per Juni 2024, Elsevier –perusahaan pengelola Scopus— melaporkan bahwa dari sekitar 850 jurnal di Kurdish Studies dan Migration Letters sudah discontinued sejak 2022. Artinya, kedua jurnal ini semestinya tidak lagi menerbitkan karya ilmiah sejak dua tahun lalu.
Anggota Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Idhamsyah Eka Putra, melihat kejanggalan lainnya. Kejanggalan itu terlihat dari editor kedua jurnal yang menangani artikel Bahlil. Editor di Kurdihs Studies bernama Adam Mudinillah. Adam tercatat beralamat di Pariangan Batusangkar, Sumatera Barat.
Alamat editor yang berada di Indonesia menguatkan jika Kurdish Studies tersebut adalah jurnal predator. “Ini sudah pasti jurnal abal-abal,” kata Idhamsyah, Ahad, 4 Agustus lalu.
Editor artikel Bahlil di Migration Letters bernama William Asghar. Di laman Migration Letters, William disebutkan terafiliasi dengan Social Science, Arab Saudi. Idhamsyah menelusuri nama itu di mesin pencarian google, tapi ia tak menemukan informasi yang cukup mengenai William Asghar. “Editornya ini tidak jelas,” ujar Idhamsyah.
Tempo belum memperoleh konfirmasi dari Kurdish Studies dan Migration Letters soal ini. Tempo sudah mengirim pertanyaan lewat email kepada kedua pengelola jurnal. Tapi mereka belum menjawab konfirmasi tersebut.
Bahlil mengatakan, artikelnya terbit di Kurdish Studies dan Migration Letter, masing-masing pada bulan Desember 2023 dan Januari 2024. Ia dan tim mengaku sudah memeriksa kredibilitas kedua jurnal tersebut. Berdasarkan Scopus, pada saat Bahlil mengumpulkan tulisan tersebut, belum ada keterangan eksplisit bahwa jurnal tersebut sudah tidak lagi terindeks di Scopus.
Selain itu, Bahlil mengatakan, berdasarkan penelusuran di situs Scimago, yang merupakan database pemeringkat jurnal, juga menunjukkan bahwa pada tahun 2023, jurnal tersebut masih diklasifikasikan sebagai jurnal yang kredibel.
“Seperti yang dapat dicek di website Scopus, kedua jurnal ini sudah cukup lama terindeks Scopus; Kurdish Studies sejak tahun 2012 dan Migration Letters sejak tahun 2011. Ketika saya mendengar berita bahwa jurnal tersebut dikeluarkan dari indeks Scopus, terus terang saya pun kaget dan kecewa karena ketika artikel saya terbit, kedua jurnal tersebut masih terindeks Scopus,” kata Bahlil kepada Tempo, Jumat 9 Agustus 2024.
Dari seminar itu, Chandra melihat makalah Bahlil bisa diterbitkan di jurnal bereputasi internasional. Bahlil lantas menyodorkan dua jurnal sebagai tempat untuk menerbitkan artikelnya kepada Chandra. Lalu Chandra mengecek keaslian jurnal tersebut, apakah masuk jurnal predator atau bukan.
“Saya lihat di Scopus, jurnal itu masih aktif,” kata Chandra.
Chandra mengaku juga sudah mengecek kelayakan artikel Bahlil, mulai dari sistematika penulisan hingga isinya. Chandra menilai artikel Bahli itu layak diterbitkan di jurnal Internasional.
Menurut Chandra, Bahlil kemudian mendaftarkan kedua artkelnya ke dua jurnal tersebut, tahun lalu. Kedua artikel itu diterima, lalu dipublikasikan. Belakangan Chandra baru mengetahui jika kedua jurnal tersebut sudah discontinued. “Jadi kalau itu di luar kendali kami,” ujar Chandra.
Pilihan editor: Kata Ridwan Kamil soal Nama Calon Pendampingnya di Pilgub Jakarta hingga Bisnis Skincare