TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW), menyoroti langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU), ihwal ketentuan pemberian sanksi diskualifikasi bagi pasangan calon yang tidak menyerahkan laporan dana kampanye akan dihapus.
Peneliti ICW, Seira Tamara, mengatakan KPU yang berdalih ketentuan tersebut diambil lantaran bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2022, adalah hal yang keliru.
"Sebagai penyelenggara, ini menunjukan KPU tidak menganggap pelaporan dana kampanye sebagai hal yang krusial dan bermanfaat bagi pemilih," kata Seira dalam keterangan yang diperoleh Tempo, Rabu, 7 Agustus 2024.
Seira menjelaskan, laporan dana kampanye dalam bentuk Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), serta Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) adalah hal yang penting bagi pemilih.
Sebab pada laporan tersebut, pemilih mengetahui siapa saja pihak penyumbang pada pasangan calon, serta untuk apa sumbangan tersebut digunakan. Dan yang terpenting, menjaga integritas pemilu.
"Pelaporan dana kampanye ini misalnya, dapat meminimalisir masuknya hasil tindak pidana termasuk korupsi dalam pusaran pendanaan," ujar Seira.
Merujuk Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2017, khususnya pada Pasal 54, telah diatur mengenai pemberian sanksi diskualifikasi atau pembatalan terhadap pasangan calon yang tidak menyampaikan LPPDK sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Masalahnya, kata Heroik Pratama, rancangan PKPU kampanye terbaru yang tengah dilakukan uji publik Jumat, 2 Juli lalu, khususnya pada Pasal 65 Ayat (4) diatur pemberian sanksi bagi calon yang tidak menyampaikan LPPDK sesuai batas waktu yang ditentukan, ialah tidak ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih hingga LPPDK disampaikan.
Pun, Heroik melanjutkan, rancangan PKPU terbaru juga hanya memberikan sanksi administrasi bagi pasangan calon yang tidak menyampaikan LADK sesuai batas waktu yang ditentukan.
Sanksi tersebut: peringatan tertulis dan dilarang untuk melakukan kegiatan kampanye sebagaimana diatur pada Pasal 65 Ayat (1), (2), dan (3). Akan tetapi, jika setelah tujuh hari pasangan calon tidak kunjung menyampaikan LADK setelah menerima sanksi administrasi. Maka, dikenakan sanksi larangan kampanye.
"Ini tidak sejalan dengan prinsip integritas pemilu yang transparan dan akuntabel." kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.
Padahal, Ia menegaskan, pelaporan dana kampanye menjadi instrumen penting yang keberadaannya tidak dapat dikompromi. Alih-alih menghilangkan, sanksi diskualifikasi harus terus dioptimalkan dan implementasikan.
"Justifikasi bahwa sanksi diskualifikasi bagi pasangan calon yang tidak melaporkan LPPDK tidak diatur dalam UU Pilkada adalah suatu kesesatan berpikir," kata Heroik.
Tempo berupaya meminta penjelasan Ketua KPU Mochammad Afifuddin dan Komisioner KPU Idham Holik soal hal tersebut. Namun hingga berita ini diunggah, keduanya belum merespons pesan yang dikirimkan.
Sebelumnya pada Jumat 2 Agustus lalu, Idham menjelaskan, aturan sanksi diskualifikasi karena tak melapor LPPDK tidak diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Oleh karena itu, KPU tidak bisa membuat aturan teknis yang bertentangan dengan aturan di atasnya.
Pilihan Editor: Cak Imin Bilang Begini Usai Diajak Kaesang Kolaborasi di Pilkada 2024