TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini 24 tahun silam atau 3 Agustus 2000, mantan Presiden Soeharto ditetapkan sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi. Dia diduga melakukan korupsi besar yang melibatkan penggunaan kekuasaan dan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi.
Penetapan status tersangka ini merupakan salah satu momen penting dalam sejarah reformasi Indonesia, yang menandai perubahan besar dalam sistem politik dan hukum negara Indonesia.
Dugaan Korupsi Soeharto
Baca juga:
Diawali krisis moneter dan demonstrasi besar-besaran, salah satu tuntutan reformasi adalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Tim pengacara negara dari Kejaksaan Agung menggugat penguasa Orde Baru itu Rp 11,5 triliun atas tuduhan telah menyelewengkan dana Yayasan Supersemar.
Selain menggugat Soeharto, negara menggugat Yayasan Supersemar dalam kasus yang sama. Perkara ini bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kejaksaan, saat itu berpedoman pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI Tahun 1998, yang memerintahkan mengusut tuntas dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya.
Pada 3 Agustus 2000, Soeharto akhirnya ditetapkan terdakwa kasus dugaan korupsi yang melibatkan tujuh yayasan yang didirikannya. Tujuh yayasan tersebut adalah Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais),Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.
Soeharto diduga terlibat korupsi pengelolaan dana tujuh yayasan sosial yang dipimpinnya itu sebesar Rp 1,7 triliun dan US$ 419 juta selama periode 1978-1998.
Koncoisme
Soeharto, sebelum turun dari kursi kepresidenan pada 1998, menghadapi berbagai tuduhan terkait dengan penggelapan uang negara dan penyalahgunaan wewenang selama masa jabatannya.
Howard Dick dan Jeremy Mulholland dalam kolomnya di Tempo pada 15 Mei 2018 mengatakan korupsi rezim Soeharto identik dengan praktek koncoisme. Koncoisme didefinisikan sebagai persekongkolan korupsi politik penguasa bersama dengan keluarga dan kroni-kroninya.
"Mereka dianakemaskan lewat pemberian hak monopoli dan kontrak pengadaan barang serta jasa pemerintah,” tulis Howard Dick.
Salah satu praktek koncoisme yang paling diingat adalah proyek mobil nasional. Kala itu, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 yang menginstruksikan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman modal agar secepatnya mewujudkan industri mobil nasional.
Bersamaan dengan dikeluarkannya Inpres itu, ditunjuklah PT Timor Putra Nasional (TPN) sebagai pionir mobil nasional. TPN adalah perusahaan milik Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Dengan ditunjuknya TPN sebagai pionir mobil nasional, perusahaan itu dibebaskan dari bea masuk dan pajak lainnya.
Maraknya praktek korupsi yang dilakukan Soeharto dengan koncoismenya membuat amanat reformasi tak cuma memberantas kasus korupsi secara menyeluruh, tetapi juga spesifik menyasar ke Soeharto, keluarganya dan kroninya.
Tuntutan itu kemudian dengan jelas tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 4 Tap MPR tersebut memerintahkan negara untuk melakukan penegakan terhadap terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta atau konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto.
KAKAK INDRA PURNAMA | M ROSSENO AJI | ANDIKA DWI | KORAN TEMPO
Pilihan editor: Secarik Kilas Balik Lengsernya Presiden Soeharto dan Lahirnya Era Reformasi