TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menko Polhukam Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto menekankan bahwa pemerintah tidak hanya berusaha untuk mengubah Undang-undang TNI (UU TNI) dan Undang-undang Polri (UU Polri) sesuai dengan persyaratan formal pembentukan undang-undang. Lebih dari itu, undang-undang ini juga harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dilansir dari polkam.go.id, pernyataan ini disampaikan oleh Hadi Tjahjanto saat menjadi pembicara utama dalam acara Sengar Pendapat Publik RUU Perubahan UU TNI dan RUU Perubahan UU Polri yang diadakan di Jakarta pada Kamis, 11 Juli 2024.
“Saya menekankan, bahwa pemerintah tidak hanya sekadar melakukan pemenuhan terhadap persyaratan formil pembentukan UU saja. Namun juga yang paling penting adalah mendorong dan memastikan substansi materi muatan RUU TNI dan RUU Polri mampu menjawab kebutuhan masyarakat dengan mengoptimalkan fungsi TNI dan Polri,” kata Hadi Tjahjanto.
Menko Polhukam menjelaskan bahwa naskah kedua RUU perubahan tersebut telah diinisiasi oleh DPR dan sudah disampaikan kepada presiden. Presiden, melalui Menteri Sekretaris Negara, kemudian menunjuk Menko Polhukam untuk mengoordinasikan penyusunan kedua RUU tersebut.
Respons Koalisi Masyarakat Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari Imparsial, KontraS, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Amnesty International Indonesia, Forum de Facto, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Pos Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP, menyatakan penolakan mereka terhadap perubahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri).
Dalam konferensi pers yang digelar, koalisi tersebut menyoroti potensi dampak negatif dari revisi tersebut terhadap profesionalisme dan netralitas kedua institusi keamanan ini. Mereka mendesak pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan ulang perubahan yang diusulkan demi menjaga prinsip reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak era Reformasi 1998. Berikut ini isi siaran pers nya
Pada 8 Juli 2024, DPR sudah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait revisi UU TNI dan revisi UU Polri. Berdasarkan dokumen naskah yang beredar di Publik, serta proses pembahasan yang minim evaluasi dan partisipasi publik, koalisi menolak segala pembahasan UU tersebut di periode DPR saat ini karena terdapat sejumlah masalah krusial yang membahayakan hak asasi manusia (HAM) dan merusak tata kelola negara hukum dan demokrasi, serta proses pembahasan yang tidak demokratis. Oleh karena itu Koalisi merasa perlu menyatakan sikap.
Pembahasan UU Strategis Harus Memperhatikan Aspirasi Publik
Pertama, Koalisi memandang pembahasan undang-undang strategis seperti revisi UU TNI dan revisi UU Polri harusnya memperhatikan aspirasi publik mengingat kedua undang-undang tersebut sangat berdampak langsung pada penikmatan hak-hak warga negara termasuk HAM oleh masyarakat.
Mengingat periode DPR masa bakti 2019-2024 tidak lama lagi akan segera berakhir, Koalisi mengkhawatirkan akan terjadi pola pembahasan yang transaksional dan mengabaikan kritik dan usulan penting masyarakat sipil.
Menghimbau Untuk Tidak Ada Pembahasan Kebijakan Baru di Masa Transisi Jabatan
Kedua, mengingat masa bakti anggota DPR periode 2019-2024 akan segera berakhir, secara etika politik Koalisi memandang semestinya seyogyanya tidak boleh ada pembahasan kebijakan dan/ UU baru yang strategis.
Di tengah masa transisi DPR dan Pemerintah seperti sekarang ini sudah semestinya pemerintah mempersiapkan transisi yang baik dengan tidak merubah kebijakan dan atau UU strategis dan memberikan kewenangan itu kepada DPR dan Pemerintahan terpilih apalagi banyak dari anggota DPR periode 2019-2024 saat ini tidak terpilih kembali menjadi anggota DPR RI periode berikutnya.
Anggapan Adanya Kepentingan Politik
Ketiga, perancangan revisi UU TNI dan revisi UU Polri yang sedari awal tidak melibatkan publik sudah mencerminkan bahwa revisi kedua UU tersebut bukanlah untuk kepentingan publik melainkan kepentingan politik dan segelintir kelompok tertentu.
Sudah seharusnya pembahasan UU sepenting UU TNI dan UU Polri melibatkan publik secara luas mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan sebagaimana peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Pemerintah, seyogyanya melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap ke dua UU ini, apa saja substansi yang dibutuhkan untuk memperkuat profesionalisme ke dua instansi ini.
Melemahkan Agenda Reformasi TNI-Polri
Keempat, sebagaimana siaran pers kami terdahulu bahwa substansi revisi UU TNI dan revisi UU Polri telah banyak sekali mengandung masalah mulai dari peran kedua aparat negara yang begitu intrusif hingga pemberian kewenangan yang eksesif untuk TNI-Polri. Pengaturan yang problematik tersebut tidak hanya dikhawatirkan akan melemahkan dan memundurkan agenda reformasi TNI dan Polri tetapi juga akan berdampak langsung pada terlanggarnya hak-hak warga negara.
Pilihan Editor: Respons Moeldoko dan Maruli Simanjuntak Soal TNI Boleh Berbisnis, KSAD: Dua Tiga Jam Ngojek kan Lumayan