TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengkritik gagasan perubahan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dia menilai ide tersebut tidak sesuai dengan konsep ketatanegaraan.
"Enggak masuk akal desain-desain seperti itu," kata Herdiansyah kepada Tempo melalui sambungan telepon, Selasa, 9 Juli 2024.
Adapun Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) menyepakati agar revisi Undang-undang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden tersebut dibawa ke sidang paripurna. Nantinya, status dewan pertimbangan ini akan beralih dari lembaga pemerintah menjadi lembaga negara sehingga akan berkedudukan sejajar dengan presiden.
Berdasarkan Pasal 2 draf revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden yang dilihat Tempo, Dewan Pertimbangan Agung adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Herdiansyah menjelaskan bahwa seharusnya dewan pertimbangan yang membantu presiden masuk dalam kategori lembaga pemerintah. Menurut dia, mengklasifikasikan dewan pertimbangan tersebut sebagai lembaga negara merupakan langkah yang keliru.
"Itu salah kalau disebut sebagai lembaga negara. Di mana yang mengatakan itu lembaga negara?" ujarnya.
Secara teori, jika dewan pertimbangan masuk dalam kategori lembaga pemerintah, maka ia berada di dalam cabang kekuasaan eksekutif dan posisinya di bawah presiden. Di sisi lain, jika dewan pertimbangan diklasifikasikan sebagai lembaga negara, maka ia berdiri sendiri dan memiliki kedudukan yang sama dengan presiden.
Oleh sebab itu, ahli hukum tata negara itu menyampaikan, wacana untuk menyetarakan kedudukan DPA dengan presiden telah menyalahi struktur ketatanegaraan. "Itu tidak dimungkinkan. Bagaimana mungkin dewan pertimbangan ditempatkan sejajar dengan presiden?" tuturnya.
Dia juga mengingatkan bahwa pada dasarnya anggota DPA ditunjuk oleh presiden. Dengan demikian, seharusnya status mereka tetap berada di bawah presiden. "Bagaimana bisa organisasi yang dibentuk oleh presiden justru sejajar dengan presiden?" ucapnya.
Lebih lanjut, Herdiansyah juga mengatakan bahwa pembentukan DPA tidak memiliki dasar hukum yang kuat di dalam konstitusi meski dahulu lembaga itu pernah diatur secara khusus dalam Bab IV UUD 1945.
"Setelah reformasi, lembaga itu ditarik (pemerintah) dan berubah menjadi Wantimpres," katanya.
Senada dengan itu, pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyebut perubahan nomenklatur dan status Wantimpres menjadi DPA membawa konsekuensi ketatanegaraan, terutama dalam pertanggungjawaban.
"Lembaga negara tidak bertanggung jawab ke presiden. Namun, bertanggung jawab ke publik dengan mekanisme laporan publik. Tetap bisa dipanggil DPR," ujar Bivitri saat dihubungi Tempo via aplikasi WhatsApp.
Menurut Bivitri, jika seandainya DPA menjadi lembaga negara, maka lembaga itu tetap berfungsi untuk memberikan masukan kepada presiden. Oleh sebab itu, kata dia, permasalahan utama DPA ialah ketiadaan wewenang khusus sehingga tidak layak dikategorikan sebagai lembaga negara.
"Apa wewenangnya? Apa yang membuat dia harus menjadi sejajar dengan presiden?" tuturnya.
Pilihan editor: Pengumuman Seleksi Mandiri 2024, Unpad Siapkan Kursi Calon Mahasiswa Cadangan