TEMPO.CO, Jakarta - Tepat 30 tahun lalu atau pada 21 Juni 1994, Majalah Tempo bersama tabloid Detik dan Majalah Editorial diberedel oleh pemerintah Orde Baru. Pemberedelan serupa sebenarnya marak terjadi sebelumnya, dilakukan demi “mengamankan” kekuasaan pemerintah dari rongrongan media. Momen tersebut kemudian menjadi titik balik insan jurnalis menegakkan kebebasan pers.
Janet E. Steele, pakar jurnalisme di Universitas George Washington mengungkapkan, pemberedelan itu akumulasi ketidaksukaan Soeharto kepada Tempo. Majalah Tempo dianggap mengganggu stabilitas nasional dan tidak menyelenggarakan kehidupan Pers Pancasila yang sehat dan bertanggung jawab melalui pemberitaannya tentang pembelian kapal perang eks Jerman Timur, terutama soal penyediaan dananya.
Beragam protes muncul akibat sikap pemerintah itu. Ratusan aktivis dan wartawan melakukan long march ke kantor Kementerian Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat. Dalam aksinya mereka mendesak Harmoko untuk membatalkan pencabutan izin usaha Tempo, Detik, dan Editor. Aksi ini terus berjalan hingga beberapa hari setelahnya karena pemerintah enggan menuruti permintaan demonstran.
Di sisi lain, internal Tempo juga bergejolak. Mereka tak terima atas keputusan pemerintah mencabut izin usaha tersebut. Mereka menggugat pemerintah ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI (PTTUN) dengan tergugat Menteri Penerangan Harmoko. Tempo menuntut agar pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP Tempo yang ditetapkan oleh Harmoko dengan Surat Keputusan Nomor 123/KEP/MENPEN/1994 dibatalkan.
Upaya Tempo memenangkan sengketa di pengadilan sebenarnya bagai mustahil. Pengaruh Soeharto sebagai Presiden membuat lembaga-lembaga di pemerintahan Orde Baru diragukan independensinya. Tapi ternyata keputusan PTUN DKI justru memenangkan Tempo. Ketua Majelis Hakim PTTUN Charis Subijanto dengan tegas memutuskan pencabutan SIUPP Tempo melalui SK Menteri Penerangan No. 123/1994 tanggal 21 Juni 1994, batal.
Langkah Charis yang “berani” itu mendapatkan pujian sebagai bukti kemandirian hakim dalam mengambil keputusan yang ‘merugikan’ pemerintah. Kepada wartawan Tempo, Hani Pudjiarti, dalam wawancara pada Agustus 2004 silam, Charis mengungkapkan alasannya memenangkan Tempo walau di sisi lain disebut melawan pemerintah. Bagi Charis, pencabutan SIUPP merupakan pemberedelan. Pemberedelan adalah pembungkaman.
“Mengenai pemberedelan pers, menurut kami, berarti orang nggak boleh ngomong dan dibungkam karena penerbitannya menyebarkan berita-berita yang mengganggu stabilitas nasional, tidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab. Tidak boleh ngomong dan dibungkam sama dengan pembredelan,” katanya.
Menurut Charis, mencabut izin usaha perusahaan pers karena adanya pelanggaran oleh awak media adalah kekeliruan. Pencabutan izin berarti melarang adanya kegiatan usaha. Hal ini akan berpengaruh pada banyak pihak, termasuk keredaksian hingga manajemen perusahaan. Padahal, kata dia, apabila ada wartawan yang salah, cukup dijerat dengan pasal sesuai undang-undang.
“Sebaiknya bila wartawan salah, dijerat saja dengan salah satu pasal hukum. Kan ada pasalnya yang diatur dalam UU Pers. Atau bisa saja wartawannya diajukan ke pengadilan untuk menggunakan hak jawab, hak tolak dan sebagainya,” kata Charis.
Müller, B dalam Censorship & Cultural Regulation in the Modern Age mengungkapkan, pada ada saat itu, majalah Tempo dikenal sebagai salah satu media yang secara kritis melaporkan dan mengungkap berbagai kasus korupsi dan pelanggaran HAM atau hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia. Pemberedelan itu dapat dipahami sebagai upaya rezim Orde Baru untuk menekan kebebasan pers dan menghentikan pemberitaan yang dianggap mengancam stabilitas politik dan kekuasaan mereka.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | HANI PUDJIARTI | GERIN RIO PRANATA
Pilihan Editor: Perlawanan Insan Pers Buntut pembredelan Majalah Tempo, Editor, dan Tabloid Detik oleh Orde Baru 30 tahun Lalu