TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, tepat 30 tahun lalu, Majalah Tempo diberedel oleh pemerintah Orde Baru pada 21 Juni 1994. Pemberedelan ini adalah kali kedua setelah yang pertama pada 1982. Selain Tempo, dua media lain: majalah Editor dan tabloid Detik, juga ikut digulung izin usahanya. Upaya pembungkaman ini kemudian menimbulkan gelombang protes sebagai wujud menuntut kebebasan pers.
Kilas balik pemberedelan Tempo dan protes menuntut kebebasan pers era Orde Baru
Pada 1982, majalah Tempo diberedel setelah mengkritik rezim Orde Baru dengan kendaraan politik barunya yaitu, Partai Golkar. Setelah melakukan negosiasi, akhirnya Tempo dapat terbit kembali. Namun, 12 tahun berselang, pemerintah masih sensitif terhadap keberadaan Tempo. Tempo diberedel lagi tak selang lama setelah menerbitkan lipuan soal Menteri Riset dan Teknologi B. J. Habibie membeli 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur.
Tepatnya pada 21 Juni 1994, Majalah Tempo ditutup secara paksa oleh pemerintah. Keputusan pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP Tempo ditetapkan oleh Menteri Penerangan Harmoko dengan Surat Keputusan Nomor 123/KEP/MENPEN/1994. Pemberedelan ini diumumkan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko.
Legowo, S. H. dalam Dinamika Politik Rezim Orde Baru di Indonesia mengungkapkan Pemberedelan Tempo dilakukan dengan alasan keamanan yang menyangkut substansi berita. Tempo dianggap mengganggu stabilitas nasional dan tidak menyelenggarakan kehidupan Pers Pancasila yang sehat dan bertanggung jawab melalui pemberitaannya tentang pembelian kapal perang eks Jerman Timur, terutama soal penyediaan dananya.
Dalam studi Pemberedelan Pers Masa Orde Baru pada 2017 oleh Haritajaya, pelanggaran Tempo tercantum dalam peraturan yang termuat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tentang penerangan dan pers bagian (d). Di mana dalam rangka meningkatkan peranan pers dalam pembangunan perlu ditingkatkan usaha pengembangan pers yang sehat, pers yang bebas, dan bertanggung jawab.
Sementara menurut B Müller dalam Censorship & Cultural Regulation in the Modern Age, pemberedelan Tempo oleh rezim Orde Baru pada 1994 memiliki dimensi politik yang signifikan. Pada saat itu, Tempo dikenal sebagai salah satu media yang secara kritis melaporkan dan mengungkap berbagai kasus korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia.
Pemberedelan tersebut dapat dipahami sebagai upaya rezim Orde Baru untuk menekan kebebasan pers dan menghentikan pemberitaan yang dianggap mengancam stabilitas politik dan kekuasaan. Pemberedelan Tempo juga dapat dipahami sebagai pesan politik kepada media lain dan masyarakat bahwa rezim Orde Baru tidak akan mentoleransi kritik yang terlalu tajam dan dapat mengancam kekuasaan mereka.
Dilansir dari Tempo Interaktif, pemerintah sebelum reformasi tercatat memang acap memberedel media pers untuk “mengamankan kekuasaan”. Dari waktu ke waktu, pemberedelan lazim dilakukan. Pada 1949 misalnya, sebuah harian berhaluan kiri di Yogyakarta ditutup akibat dinilai terlalu kritis pada Presiden Soekarno. Lalu pada 1960, sekitar 40 media yang dinilai bersimpati pada ideologi kiri, dicabut izin terbitnya. Setelah PKI dibubarkan pada 1966, tak kurang dari 46 media kiri menyusul ditutup.
Setelah Orde Baru berkuasa, hubungan manis sempat terjalin antara pers dan Soeharto. Pers bebas memberitakan apapun, tanpa harus khawatir pada sanksinya. Namun masa indah berlangsung singkat. Pada 1972, gelombang pemberedelan dimulai lagi ketika pemerintah menutup tabloid mingguan Sendi yang dikelola mahasiswa UGM, Yogyakarta. Gara-garanya, media kampus ini dengan berani mengulas proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah dan peran istri Presiden, Tien Soeharto.
Setahun kemudian, giliran harian Sinar Harapan yang dilarang terbit karena media itu berani menganalisis rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang belum dibahas di DPR. Sejak itu, tabiat Orde Baru dalam menghadapi pers yang kritis dan independen, mulai mirip dengan pendahulunya. Ancaman penutupan, pemberedelan dan kooptasi mulai jadi makanan sehari-hari wartawan.
Pada 1974, setelah aksi demonstrasi yang berujung rusuh di Jakarta – belakangan dikenal dengan sebutan peristiwa Malari—pemerintah menutup 12 media massa. Empat tahun kemudian, pada 1978, menyusul serangkaian aksi unjuk rasa di berbagai kampus yang menolak kebijakan normalisasi kehidupan kampus, lagi-lagi pemerintah menutup 14 koran dan pers mahasiswa.
Seiring dengan konsolidasi kekuasaan Orde Baru, perilaku represif pemerintah makin menjadi pada mereka yang berani kritis dan independen. Pada 1987, Harian Prioritas ditutup, setelah setahun sebelumnya harian Sinar Harapan ditutup untuk kesekian kalinya. Gelombang pembungkaman terus terjadi tanpa ada upaya konkret untuk menghentikan semua itu. Baru pada 21 Juni 1994, untuk pertama kalinya dalam sejarah, wartawan melawan.
Surat pencabutan izin usaha yang diterima Tempo -yang saat itu berkantor di Jalan HR Rasuna Said dekat kantor Kedutaan Besar Australia-membuat suasana panik dan riuh, sebagaimana digambarkan Janet Steele dari George Washington University dalam bukunya Wars Within. Pelaksana Pemimpin Redaksi Tempo ketika itu, Fikri Jufri, menggelar konferensi pers dadakan. Fikri berkata di depan para awak media televisi, “Pembredelan ini adalah pelanggaran atas kebebasan pers,” kata Fikri, yang disambut sorakan para awak media Tempo.
Bahkan Pendiri Tempo, Goenawan Mohamad atau GM langsung membatalkan perjalanannya ke Jawa Tengah dan lekas kembali ke kantor Tempo setelah mendengar kabar pembredelan itu. Padahal saat itu dirinya sudah berada di Bandar Udara Soekarno-Hatta. GM menyampaikan pidatonya pascapembredelan. Mantan Pemimpin Redaksi Tempo kala itu, Bambang Harymurti atau yang akrab disapa BHM masih teringat dengan kata-kata GM: “Kita boleh kalah, tapi tidak boleh takluk.”
Beberapa waktu lalu, dalam memoar yang diunggah di Facebook, GM kembali menceritakan kenangan 21 Juni 1994 itu. GM menuliskan ketika ia bertemu dengan Sarwono Kusumaatmadja, (Menteri Negara Lingkungan Hidup), salah satu menteri yang menunjukkan simpati kepada majalah Tempo sepekan setelah ultimatum yang dilayangkan oleh Hashim, Sarwono bertanya mengapa GM melawan keras tindakan pemberedelan tersebut, “It is about self-respect,” kata GM dalam memoar yang pernah diupload di akun Facebooknya.
Perlawanan tak hanya terjadi di internal Tempo. Sehari setelah pemberedelan tiha media tersebut, percikan api mulai memantik para wartawan muda hingga aktivis dan mahasiswa. Di Jakarta, ratusan aktivis dan wartawan melakukan long march ke kantor Kementerian Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat. Mereka mendesak Harmoko untuk membatalkan pencabutan SIUPP Tempo, Detik, dan Editor.
Aksi ini berlanjut hingga beberapa hari setelahnya karena pemerintah enggan menuruti tuntutan demonstran. Termasuk di Yogyakarta, di mana demonstran melakukan aksi dengan membungkus kantor biro Tempo di sana dengan kertas putih. Kemudian pada 27 Juni 1994, saat polisi membubarkan paksa demonstran terjadi kerusuhan yang menyebabkan puluhan orang terluka dalam insiden tersebut.
Dilansir dari Aji.or.id, tertutupnya ruang gerak pers saat itu melahirkan perlawanan-perlawanan komunitas pers Indonesia. Pemberedelan terhadap Detik, Editor, dan Tempo pada 21 Juni 1994 memicu aksi solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata di sejumlah kota. Kebebasan pers menjadi perhatian khalayak.
Pada 7 Agustus 1994, sekitar 100 orang yang terdiri atas jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih untuk membentuk gerakan perlawanan. Persamuhan itu menghasilkan Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi ini, yaitu menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya Aliansi Jurnalis Independen atau AJI.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | GERIN RIO P
Pilihan Editor: 53 Tahun Majalah Tempo Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror