TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau JPPI menyoroti pelaksanaan penerima peserta didik baru atau PPDB 2024, lantaran khawatir dengan permasalahan lama. Misalnya, sistem zonasi yang kerap menjadi perbincangan.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengungkap permasalahan PPDB sebenarnya bukan dari sistem zonasi, tapi perebutan kursi.
"Zonasi ini sistem yang bagus untuk pemerataan akses dan juga mutu. Nah, yang jadi masalah sesungguhnya adalah, sistem rebutan kursi," ucapnya dalam keterangan tertulis, Kamis, 6 Juni 2024.
Ubaid menyebut permasalahan itu sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 1 Tahun 2021. Namun, ia berharap pemerintah dapat merevisinya.
“Sudah tahu, bangku yang disediakan memang kurang, tapi orang tua diminta untuk rebutan. Maka, terjadilah transaksi yang bernama jual beli kursi, obral sertifikat prestasi, manipulasi Kartu Keluarga, dan juga surat keterangan tidak mampu abal-abal,” ucapnya.
Ubaid mengimbau agar pemerintah mengantisipasi permasalahan ini. Menurut catatannya, sudah ada ketua panitia PPDB yang mengundurkan diri, pengumuman kelulusan yang diundur, dan sistem yang eror berhari-hari.
Ia mengatakan usulan soal penambahan kuota afirmasi sebanyak 50 persen tidak menyelesaikan masalah. "Soal penambahan kuota afirmasi ini permintaan yang sangat aneh. Buat apa nambah kuota afirmasi? Kebijakan ini tidak manusiawi," ujarnya.
Khusus permasalah di Jakarta, ia mengusulkan, pemerintah dapat menggunakan anggaran Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk pembiayaan sekolah bebas biaya, baik di sekolah negeri maupun swasta.
“Sistem pendidikan kita harus tegak lurus mengikuti UUD 1945 Pasal 31 dan juga UU sisdiknas Pasal 34, yaitu pendidikan adalah hak semua warga negara, yang artinya untuk mengaksesnya tidak boleh ada sistem kompetisi, dan juga pemerintah wajib menanggung pembiayaannya,” ujar Ubaid.
Pilihan Editor: Simak Perbedaan PPDB 2023 dan 2024 di Jakarta