TEMPO.CO, Jakarta - Pada 29 Mei 2006 atau 18 tahun lalu menjadi hari tak terlupakan bagi warga yang terdampak semburan lumpur panas dari lokasi pengeboran sumur Banjar Panji 1 yang berjarak sekitar 200 meter, milik PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Pengeboran yang dilakukan oleh perusahaan di bawah naungan Bakrie ini menjadi bencana yang masih berlangsung hingga saat ini. Para peneliti menetapkan fenomena semburan lumpur ini sebagai bencana yang terjadi akibat kelalaian manusia.
Kilas Balik Fenomena Lumpur Lapindo
Berdasarkan catatan Tempo pada 2008, dalam diskusi ilmiah bersama mantan Rektor ITB Profesor Rudi Rubiandini kala itu, dirinya menjelaskan secara ilmiah mengapa semburan lumpur Lapindo ini disebut terjadi karena kelalaian manusia.
Diketahui wilayah yang saat itu dilakukan pengeboran, memang telah terdapat sumber lumpur kedalaman yang berasal dari kedalaman 1000-2000 meter di bawah permukaan. Rudi mengungkapkan jika lumpur mencapai permukaan akibat peristiwa alam yaitu aktivitas tektonik dan aspek-aspek geologi terkait kondisi geohidrologi dan geothermal.
Lumpur tersebut, lanjutnya terjadi di suatu wilayah yang diketahui sebagai wilayah secara tektonik aktif. Yang mana lokasi lumpur disebut berada di Jalur Kendeng dan rentan terganggu aktivitas tektonik sehingga menyebabkan sebagian batuan di bawah permukaan bertekanan lebih.
Semburan lumpur itu berhubungan erat dengan gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. Gempar bumi di Yogyakarta terjadi 27 Mei 2006, sedangkan semburan lumpur terjadi 29 Mei 2006. Gempa tersebut juga mempengaruhi produktivitas fluida di sumur-sumur di sekitar Banjar Panji-1 (misalnya Sumur Carat) bersamaan dengan peningkatan aktivitas Gunung Merapi.
Upaya Ganti Rugi oleh PT Lapindo
Sampai saat ini ganti rugi yang dijanjikan oleh pihak PT Lapindo Brantas masih belum maksimal. PT Lapindo mengupayakan ganti rugi dengan meminjam dana ke negara. Jika ditotal, jumlah utang Lapindo ke pemerintah tembus hingga Rp2,2 triliun.
Utang ini berasal dari pinjaman Dana Antisipasi Penanganan Luapan Lumpur Lapindo Sidoardjo yang diajukan oleh Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya. Konglomerasi Bakrie pada Maret 2007 tercatat telah memperoleh pinjaman Rp781,68 miliar. Akan tetapi uang yang ditarik dari pemerintah sebesar Rp773,38 miliar.
Perjanjian pinjaman ini memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8 persen. Sedangkan denda yang disepakati adalah 1/1000 per hari dari nilai pinjaman. Kala perjanjian disepakati, Lapindo akan mencicil empat kali sehingga tidak perlu membayar denda atau Lunas pada 2019 lalu.
Potensi Mineral dalam Lumpur Lapindo
Selain upaya melunasi ganti rugi ke masyarakat, pemerintah mengupayakan pemanfaatan lumpur panas yang menyembur hingga saat ini untuk kemudian dicari potensinya. Menurut catatan tahun 2023, kondisi lumpur lapindo yang menyembur ditemukan kandungan logam tanah dan mineral litium yang sedang diupayakan untuk dapat dimanfaatkan dengan baik. Temuan ini menurut Kepala Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Panas Bumi di Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Hariyanto material ini dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku utama baterai.
Hariyanto menyampaikan, kandungan litium dalam lumpur lapindo sebesar 100-280 parts-per-million (ppm). Kandungannya memang tidak banyak bermanfaat besar secara ekonomi, namun jika dieksplorasi melalui proses-proses lebih lanjut akan sangat berpotensi.
Upaya pemanfaatan ini dikatakan oleh Hariyanto berkiblat pada negara Prancis yang memiliki pengalaman dengan usaha pengayaan litium di beberapa negara. Badan Geologi saat ini tengah mendorong pemanfaatan litium di lumpur Sidoarjo tersebut dengan menjadikannya wilayah usaha pertambangan.
SAVINA RIZKY HAMIDA | KURNIASIH BUDI | FAJAR PEBRIANTO | AHMAD FIKRI
Pilihan Editor: Apa Kabar Kawasan Lumpur Lapindo di Sidoarjo Saat Ini?