TEMPO.CO, Jakarta - Rakernas PDIP ke-5 berlangsung selama tiga hari pada 24-26 Mei 2024 dengan tema “Satyam Eva Jayate, Kebenaran Pasti Menang”. Hari pertama Rakernas PDIP itu telah dilakukan pada 24 Mei 2024 di Beach City International Stadium, Ancol. Agenda hari pertama adalah pidato politik dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri sebagai panduan kebijakan seluruh materi Rakernas.
Bahkan, dalam pidato tersebut, Megawati juga mengutip kata-kata dari berbagai tokoh antara lain Nabi Muhammad SAW, Sidharta Gautama, hingga Sindhunata terkait kondisi saat ini.
Ini kutipan yang dibaca Megawati dari tulisan Sindhunata. “Ia hanya mau orang mengerti, harapannya adalah matahari dan jagonya adalah penderitaannya sendiri. Ia percaya ratu adilnya tak lain hanyalah manunggalnya penderitaan dan harapan laksana manunggaling kawula lan Gusti,” kata Megawati, seperti dikutip YouTube PDI Perjuangan, pada 24 Mei 2024. Lebih lanjut, Megawati meneruskan pidatonya dengan suara bergetar, menahan tangisan.
“Mereka wong cilik itu bukanlah kalah. Mereka hanya menitipkan rahasia penderitaan tempat tersimpannya harapan akan masa depan di negeri yang indah yang gemah, loh jinawi (subur makmur) Indonesia Raya yang kita cintai. Tidak yakin akan hal itu? Tidak yakin akan hal itu hanya karena manusia-manusianya sudah mulai lupa diri. Hayo, siapa yang mau insaf? Siapa yang mau insaf?” kata Megawati.
Pertanyaan Megawati tersebut disambut teriakan yang berada di ruangan dengan menyebut nama “Jokowi”. Namun, Megawati tidak mempedulikannya dan kembali melanjutkan pidato.
"Saudara sekalian, rakyat Indonesia yang saya cintai dengan tulus dan ikhlas sudah menjadi tugas sejarah kita untuk tidak pernah berhenti berjuang mengangkat harkat dan martabat para petani, buruh, dan nelayan. Ini bukan hanya slogan, tetapi benar-benar menjadi basis keberpihakan partai,” kata dia.
Profil Sindhunata
Kalimat yang diucapkan Megawati dikutip dari tulisan Dr. Gabriel Possenti Sindhunata atau akrab dipanggil Romo Sindhu. Ia lahir pada 12 Mei 1952 di kota Batu, Malang dari orang tua beretnis Tionghoa. Setelah menyelesaikan pendidikan di Seminarium Marianum, Malang, ia pindah ke Jakarta dan berkarier sebagai wartawan majalah Teruna dan Harian Kompas. Sambil menjadi wartawan, ia tetap menempuh pendidikan di STF Driyakarya, Jakarta pada 1974-1980. Selain itu, ia juga meraih gelar sarjana dari Institut Filsafat Teologi Kentungan, Yogyakarta yang disusul gelar doktor bidang filsafat.
Mengacu sabda,org, Sindhu memiliki keahlian dalam menulis sejak duduk di bangku sekolah menengah lantaran kegemarannya membaca buku bergenre budaya, filsafat, babad, sejarah, novel, dan puisi. Adapun, beberapa hasil karya tulis Sindhu, antara lain Anak Bajang Menggiring Angin, Semar Mencari Raga, Tak Enteni Keplokmu, dan Air Kata-Kata.
Sebagai ahli filsafat, Sindhu juga rajin menulis artikel bernuansa filsafat di majalah Basis dan harian Kompas. Selain itu, juga kerap menerbitkan buku hasil kajian pemikir dan karya ilmiah lain, seperti Menjadi Generasi Pasca Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya (1999) dan Kambing HitamTeori Rene Girard (2006). Ia juga memiliki salah satu karya ternama berjudul Petruk jadi Guru. Selama menjadi penulis, gaya tulisannya dikenal sebagai jurnalisme sastrawi, yaitu berita yang disampaikan dengan cara bercerita, seperti karya sastra.
Saat ini, pemilik kalimat yang dijadikan rujukan oleh Megawati, Sindhunata menetap di Yogyakarta menjadi gembala umat Katolik, penulis aktif, redaktur majalah Basis, dan dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Pilihan Editor: Beda Rakernas PDIP ke-5 dan ke-4, Pidato Politik Megawati Kali Ini Tanpa Kehadiran Jokowi