TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat untuk Air dan Sanitasi Berkeadilan, Inklusif dan Berkelanjutan (Just-In WASH Calition Indonesia) menyebut pemenuhan air bersih dan sanitasi bagi perempuan di wilayah pesisir Indonesia masih jauh dari layak.
“Perempuan yang berdomisili di wilayah pesisir kekurangan akses terhadap air bersih dan sanitasi disebabkan sumber daya publik belum dikelola secara adil dan efektif,” kata Wakil Sekretaris Jenderal FITRA, Ervyn Kaffah, dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 23 Mei 2024.
Koalisi Masyarakat untuk Air & Sanitasi Berkeadilan dan Inklusif terdiri dari terdiri dari Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Perkumpulan Inisiatif, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) dan International Budget Partnership (IBP).
Sejak 2019, mereka mendorong pemerintah agar lebih memperhatikan penghidupan nelayan kecil dan tradisional, termasuk akses atas air bersih dan sanitasi yang layak dan aman bagi perempuan pesisir di Indonesia.
Studi yang dilakukan oleh Seknas FITRA terkait anggaran air minum dan sanitasi di wilayah pesisir di lima kabupaten/kota menunjukkan rendahnya kualitas layanan air minum dan fasilitas sanitasi. Hal ini relevan dengan tata kelola anggaran yang tidak mempertimbangkan kebutuhan perempuan miskin dan karakteristik wilayah pesisir.
Masalah ini disebabkan perencanaan anggaran yang belum sensitif gender, alokasi anggaran tidak mencukupi; serta belanja anggaran tidak tepat sasaran. Ervyn menjelaskan bahwa kredibilitas anggaran untuk sektor air minum dan sanitasi, terutama di daerah, sangatlah rendah.
Menurut dia, selama kurun waktu 1999-2022, rata-rata realisasi anggaran pemerintah daerah di 5 kabupaten/kota wilayah studi untuk sektor air minum, sanitasi, dan pengelolaan sampah berkisar antara 10-34 persen dari total anggaran yang direncanakan. “Rendahnya serapan anggaran tersebut di antaranya karena keterlambatan dalam proses pengadaan barang dan jasa,” kata dia.
Selain itu, studi FITRA juga menemukan bahwa alokasi anggaran untuk sektor tersebut sebagian besar digunakan untuk belanja gaji dan operasional aparatur pemerintah.
Hal ini kontras saat Indonesia sedang menjadi tuan rumah World Water Forum (WWF) ke-10 di Nusa Dua Bali pada 18-25 Mei 2024. WWF tahun ini mengusung tema “Water for Shared Prosperity” (Air untuk Kemakmuran Bersama). Padahal Presiden Joko Widodo menekankan beberapa agenda penting yang harus diprioritaskan, yakni upaya konservasi air, ketersediaan air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan energi, serta mitigasi bencana alam seperti banjir dan kekeringan.
Dani Setiawan, Ketua Umum KNTI, menilai pembangunan air bersih dan sanitasi di Indonesia saat ini lebih berorientasi pemukiman perkotaan daripada wilayah pesisir.
Mengutip data Badan Pusat Statistik pada 2022, Dani menjelaskan ada lebih dari 8 juta perempuan dari 17,74 juta penduduk miskin yang berdomisili di kawasan pesisir Indonesia rentan menderita gangguan kesehatan karena buruknya layanan air minum dan infrastruktur sanitasi di permukiman mereka.
Resiko diperparah oleh dampak perubahan iklim. Gangguan kesehatan yang dimaksud berupa penyakit kulit, diare, demam berdarah, malaria, dan TB paru.
“Gangguan kesehatan yang diderita perempuan pesisir berdampak pada kondisi kesehatan dan keluarga nelayan karena peran mereka yang sangat dominan dalam menyediakan akses atas air minum dan fasilitas sanitasi keluarga,” kata Dani.
Survey pendataan keluarga nelayan tradisional di 26 kabupaten/kota serta pemetaan partisipatif yang dilaksanakan di 5 wilayah pesisir (Kampung 05 Bagan Deli dan Kampung Nelayan Sebrang-Kota Medan, Kampung Dadap-Kabupaten Tangerang, Semarang Utara-Kota Semarang, Kwanyar-Kabupaten Bangkalan, dan Jerowaru-Kabupaten Lombok Timur) oleh KPPI dan Perkumpulan INISIATIF pada 2023 menunjukkan akses atas air minum dan air bersih, fasilitas sanitasi, dan pengelolaan sampah di wilayah pesisir sangatlah memprihatinkan.
Selain itu, wilayah-wilayah tersebut mengalami kenaikan ketinggian muka air laut akibat dari dampak perubahan iklim. “Wilayah desa pesisir tidak memiliki infrastruktur saluran air limbah domestik yang memadai, termasuk septic tank,” kata Dadan Ramdan, Sekretaris Jenderal Perkumpulan INISIATIF.
Hasil pemetaan partisipatif menunjukan bahwa lebih dari 90 persen rumah tangga nelayan di Medan, Tangerang, dan Bangkalan tidak memiliki saluran pembuangan limbah rumah tangga dan saluran pembuangan air kotor serta membuang air limbah domestiknya langsung ke daratan terbuka, saluran drainase, sungai, maupun pantai atau laut.
Dadan juga mengatakan akses atas air minum merupakan masalah besar dan mahal yang dihadapi oleh keluarga nelayan. Hanya 11,9 persen rumah tangga di Medan yang mengaku mendapatkan air bersih dari PDAM. Sementara itu, keluarga nelayan di daerah lainnya mengusahakannya secara mandiri, diantaranya dengan membeli air bersih yang menghabiskan rata-rata Rp 250-400 ribu setiap bulan. Di Lombok Timur, misalnya, masyarakat pesisir harus bergantung pada pasokan air baku yang bersumber dari kabupaten lain dan sebagian besar diangkut dengan menggunakan truk tangki air.
Rosinah, Ketua Umum KPPI menegaskan bahwa perempuan memiliki peran yang sangat penting sekaligus sebagai penanggung jawab utama dalam keluarga dalam menyediakan air bersih, memelihara fasilitas sanitasi, serta mengelola sampah di lingkungan keluarga.
“Sekitar kurang lebih 220 ribu perempuan dan anak di lima wilayah pesisir yang disurvey dan dipetakan rentan mengalami gangguan kesehatan yang disebabkan oleh buruknya fasilitas sanitasi serta rendahnya akses atas air bersih yang berkualitas,” katanya.
Rosinah menjelaskan perempuan dengan identitas berlapis menjadi kelompok yang paling rentan mengalami masalah tersebut. Perempuan dengan identitas berlapis yang dimaksud adalah perempuan yang berasal dari keluarga nelayan miskin, lansia, perempuan buruh nelayan, perempuan penyandang disabilitas, perempuan nelayan kepala keluarga, korban kekerasan seksual, maupun anak perempuan korban pernikahan di bawah umur.
Rosinah mengatakan kerentanan mereka disebabkan oleh kemiskinan, kurang tanggapnya pemerintah dalam merespons masalah dan kebutuhan mereka, perlakuan diskriminatif, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, serta ketiadaan akses atas pengambilan keputusan maupun akses atas program-program pemerintah.
Pilihan editor: DPR Bilang Fokus Revisi RUU Kabupaten/Kota untuk Penyesuaian Dasar Hukum