TEMPO.CO, Jakarta - Mahasiswa Universitas Riau atau Unri Khariq Anhar yang dilaporkan oleh sang rektor, Sri Indarti ke Kepolisian Daerah Riau buka suara soal penyebab kasus yang menyeret dirinya itu.
Seperti diketahui, Sri Indarti melaporkan Khariq dengan pasal pencemaran nama baik di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Sri tak terima lantaran dalam konten media sosial yang dibuat oleh Khariq untuk mengkritik kebijakan soal uang kuliah tunggal atau UKT dan uang pangkal, mahasiswa itu menyebut dirinya sebagai broker pendidikan.
Khariq menjelaskan, penyebutan broker pendidikan diucapkan dalam konteks kritik kebijakan uang pangkal atau Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Menurut Khariq, kata broker, tidak berkonotasi positif atau negatif. Broker itu disebut dalam konteks satir.
"Karena kami buat video lucu-lucuan tapi satir. Broker artinya pengatur nilai dan instrumen dalam pasar saham. Karena kenaikan saham (red:biaya pendidikan) Unri luar biasa, Jadi identitas broker itu tepat," kata Khariq saat dihubungi, Rabu 8 Mei 2024.
Khariq mengatakan, mulanya mahasiswa mengundang rektor untuk berdiskusi soal kenaikan UKT dan kebijakan uang pangkal pada 4 Maret 2024. Namun, rektor Unri tidak hadir. Karena itu, aliansi mahasiswa membuat konten video kritik. "Kami tak akan membuat video itu kalau ada keterbukaan untuk diskusi," kata Khariq.
Video itu diunggah di media sosial oleh akun Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP) pada 6 Maret 2024. Dalam konten itu, Khariq mengkritik uang pangkal masuk di sejumlah prodi.
Ia pun mengkritik biaya Uang Kuliah Tunggal prodi Bimbingan Konseling dan Ilmu Pemerintah sebesar Rp10 juta. Ia juga mengkritik prodi pendidikan dokter yang mencapai Rp115 juta. Di akhir video, Khariq menyebut nama Rektor Unri, Sri Indarti sebagai broker pendidikan. Konten itu juga menampilkan foto sang rektor.
Khariq mengaku tidak bermaksud menyerang pribadi Sri Indarti. Ia mengkritik Sri sebagai pejabat publik yang membuat kebijakan uang pangkal. Menurut Khariq, uang pangkal dibuat tanpa mendengarkan aspirasi mahasiswa.
Mahasiswa juga tak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan itu. "Tak ada demokrasi dalam merumuskan kebijakan yang memberatkan mahasiswa itu," kata Khariq.
Karena itu, Khariq berharap dibebaskan. Menurut Khariq, kasus ini merupakan masalah akademik. Rektorat seharusnya mengajak dialog untuk menyelesaikan masalah ini. Bukan justru melaporkan pengkritik ke kepolisian.
Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana, mengatakan, Sri Indarti melakukan serangan serius dan berbahaya bagi keamanan kebebasan akademik. Sri membungkam kebebasan akademik melalui kriminalisasi.
“Mahasiswa punya hak untuk mengkritisi kebijakan uang pangkal. Kampus tidak boleh tidak boleh membalasnya dengan kriminalisasi. Ini bagain dari pendisiplinan kebebasan akademik,” kata Satria saat dihubungi, Selasa 7 Mei 2024.
Menurut Satria, Sri Indarti seharusnya membuka ruang dialog. Dialog dilakukan dengan membuka data secara transparan dan akuntabel. “Jangan sampai kritik berbalas tindakan kriminalisasi karena itu pelanggaran serius bagi prinsip-prinsip kebebasan akademik,” kata Satria.
Kuasa hukum Sri Indarrti, Muhammad A. Rauf, mengatakan, kebijakan IPI tersebut sudah sesuai dengan Permendikbudristekdikti Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN dilingkungan Kemendikbudristekdikti.
Rauf membantah Sri antikritik. Sri justru mengapresiasi kritik mahasiswa. Namun, kritik itu harus disampaikan dengan etika dan moral yang baik. Sri, kata Rauf, berharap mahasiswa yang merasa dirugikan kebijakan kampus mengedepankan prinsip tabayun atau klarifikasi terlebih dahulu.
Pilihan Editor: Protes Kenaikan UKT, Mahasiswa UIN Jakarta akan Gugat Kampus ke PTUN