TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara atau APHTN-HAN, menegaskan usulan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara murni dilatari kajian.
Sekretaris Jenderal APHTN-HAN, Bayu Dwi Anggono, mengatakan terdapat 3 alasan yang menjadi dasar mengapa pengaturan jumlah kementerian perlu ditinjau ulang. Menurut dia, jumlah kementerian yang ada saat ini belum menggambarkan keseluruhan urusan pemerintahan yang disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pun, Bayu melanjutkan, dengan pembatasan jumlah Kementerian yang diatur dalam Undang-Undang Kementerian Negara sudah tidak lagi dapat mengakomodasi kebutuhan akan fleksibilitas.
“Terakhir, penguatan prerogatif Presiden dalam membentuk kabinet presidensiil seharusnya mengacu pada urusan pemerintahan dalam konstitusi,” kata Bayu kepada Tempo melalui pesan singkat, Rabu, 8 Mei 2024.
Usulan ini, kata dia, merupakan tindaklanjut rekomendasi pengurus APHTN-HAN saat menghelat Konferensi Nasional di Batam. Rekomendasinya, menghendaki agar APHTN-HAN, selain fokus pada isu tata kelola penyelenggaraan pemilihan umum, turut juga berfokus pada upaya penyelesaian pelbagai masalah dalam proses pembentukkan kabinet presidensiil di Indonesia.
Sehingga, revisi terhadap Undang-Undang Kementerian Negara laik untuk dilakukan, mengingat urusan pemerintahan yang disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 belum semua diatur pada Undang-Undang tersebut. Misalnya, urusan pajak dan penerimaan negara, urusan jaminan sosial, urusan perbatasan dan pulau-pulau terluar, urusan perlindungan masyarakat hukum adat, maupun urusan pangan.
Belum diaturnya urusan tersebut, kata Bayu, menyebabkan beberapa urusan yang terdapat di pemerintahan saat ini belum ada nomenklaturnya di Kementerian. Apalagi Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur ihwal jumlah Kementerian. Artinya, jumlah Kementerian menjadi ranah pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya. "Kami rekomendasikan penambahan jumlah Kementerian antara 34 - 41," kata Bayu.
Beberapa rekomendasi pembentukan Kementerian baru, antara lain Kementerian Pangan Nasional; Kementerian Perpajakan dan Penerimaan Negara; Kementerian Pengelolaan Perbatasan dan Pulau Terluar; dan Kementerian Kebudayaan. "Dan yang terpenting, usulan ini dibuat pada September 2023 sebelum penetapan calon presiden dan wakil presiden. Tidak ada kaitannya,” ujar Bayu.
Dihubungi terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan usulan APHTN-HAN ihwal penambahan jumlah Kementerian inkonsistensi dengan sikap APHTN-HAN pada Konferensi Nasional ke-6 di Jakarta yang mengusulkan agar dilakukan evaluasi pembentukan kabinet, salah satunya dengan mengurangi jumlah Kementerian yang ada.
Saat Konferensi Nasional di Jakarta, Herdiansyah melanjutkan, APHTN-HAN mengusulkan agar Kementerian Koordinator dihapus. Sebab, dari sudut pandang konstitusi dan Undang-Undang Kementerian Negara merupakan Kementerian yang sebenarnya tidak ada kewajiban untuk dibentuk. “Jika usulannya menambah jumlah Kementerian, tentunya ini menjadi kontradiktif,” kata Herdiansyah.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, berpendapat serupa. Menurutnya, penambahan jumlah Kementerian yang masih merupakan bagian integral dari Kementerian yang ada saat ini tidak memiliki urgensi untuk direalisasikan. "Jadi tidak aneh jika ini dipandang sarat politis," kata Yance.
Pilihan Editor: Pakar Nilai Usul Revisi UU Kementerian Negara Kontradiktif dan Sarat Politis