TEMPO.CO, Jakarta - Isu Presiden terpilih Prabowo Subianto yang bakal menambah jumlah kementerian dari 34 jadi 40 menuai polemik. Sejumlah pakar menilai penambahan jumlah kementerian itu dapat melanggar Undang-Undang (UU) Kementerian Negara.
Pakar hukum dan politik pun mengingatkan Prabowo terkait hal itu. Berikut pernyataan pakar hukum dan politik:
Herdiansyah: Harus ubah UU
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengatakan penambahan jumlah kementerian itu akan melanggar Undang-Undang Kementerian Negara.
“Di Undang-undang a quo diatur maksimal 34 menteri. Kalau mau menambah harus mengubah dulu Undang-Undangnya,” kata Herdiansyah saat dihubungi Tempo, Selasa, 7 Mei 2024.
Herdiansyah menduga rencana menambah jumlah kementerian ini akan dilakukan melalui perubahan UU. Sehingga, katanya, aksi merangkul kelompok oposisi gencar dilakukan agar prosesnya lancar.
“Selain mengubah Undang-Undang, bisa juga melalui Mahkamah Konstitusi. Apalagi cara buruk ini sudah sering dilakukan,” ujar dia.
Pria yang disapa Castro ini menyebut Indonesia pernah memiliki kementerian gemuk di masa Presiden Soekarno. Soekarno membentuk Kabinet 100 Menteri untuk merespons krisis sosial, ekonomi, dan keamanan akibat perlawanan terhadap kepemimpinannya pasca-Gerakan 30 September 1965. Tercatat ada 109 menteri dalam kabinet yang juga disebut Kabinet Dwikora II
“Itu juga background-nya politik, terutama konflik 1965. Bukan analisis berdasarkan kebutuhan,” kata Herdiansyah.
Dia mengatakan, kabinet gemuk ini akan memiliki konsekuensi boros dan tidak efektif. Sebab, kerja yang bisa dilakukan cukup satu kementerian justru dilakukan beramai-ramai.
“Apalagi dipimpin orang-orang partai yang tidak kompeten di bidangnya pula karena pemilihannya berdasarkan bagi-bagi jatah,” ujar dia.
Adi Prayitno: Regulasinya harus diubah
Senada Herdiansyah, dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menjelaskan wacana Prabowo akan menambah jumlah kementerian dari jumlah semula 34 menjadi 40 kursi harus mengubah regulasi.
"Harus diubah regulasinya, suka-suka pemenang saja bagaimana postur kabinet ke depan," kata Adi, Rabu pagi, 8 Mei 2024, seperti dikutip dari Antara.
Kondisi ini memang berbanding terbalik dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang justru merampingkan kementerian demi efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Meski begitu, dia menilai Jokowi dan Prabowo memiliki stressing masing-masing terkait dengan kementerian.
"Kalau untuk kemajuan bangsa, anggaran harus digelontorkan, kecuali untuk kepentingan tak berfaedah, beda lagi ceritanya," ujarnya.
Adapun jumlah kementerian telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
"Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34," bunyi pasal tersebut.
Bagian penjelasan UU No. 39/2008 ini menyebut bahwa undang-undang ini juga bermaksud untuk melakukan reformasi birokrasi dengan membatasi jumlah kementerian paling banyak 34.
"Artinya, jumlah kementerian tidak dimungkinkan melebihi jumlah tersebut dan diharapkan akan terjadi pengurangan," demikian bunyi penjelasan UU itu.