TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, berharap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menjadi ‘mahkamah kalkulator’ dalam memutus sengketa Pilpres 2024.
Hal ini disampaikan Zainal dalam acara Sidang Rakyat yang digelar Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat, 19 April 2024. Zainal mendesak Hakim Konstitusi agar tidak memutuskan sengketa pilpres hanya berdasarkan formalitas tanpa substansi.
“Tidak mungkin dibayangkan MK sekadar penghitung angka. Tetapi yang wajib dan harus dilakukan adalah menjadi hakim yang juga melihat secara substansi jauh dari formalitas,” kata Zainal.
Zainal mengatakan pada saat ini sulit hanya bergantung pada pembuktian formalitas. Sebab, kata dia, cacat hukum atau kesalahan yang dilakukan akan dibenarkan secara hukum. Zainal menyebut praktik ini sebagai legalisme otokratik. Sehingga akan sulit memperoleh keadilan apabila hakim tidak melihat substansi dan hanya bersandar pada formalitas.
“Lagi-lagi kalau kita dipaksa untuk berpikir secara formalistik, tentu saja kegagalan untuk mendapat keadilan akan kita dapati,” tutur Zainal.
Mahkamah Konstitusi telah menyelesaikan sidang pemeriksaan perselihan hasil pemilihan umum atau PHPU pada Jumat, 5 April 2024. Majelis Hakim MK yang menyidang perkara ini tengah menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Dalam sidang pemeriksaan 5 April, Hakim Konstitusi menghadirkan empat menteri kabinet Presiden Joko Widodo sebagai saksi terkait tuduhan politisasi bantuan sosial dalam perselisihan Pilpres 2024. Menteri yang dihadirkan, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Sengkata pilpres diajukan oleh pasangan calon nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebagai pemohon pertama dan paslon 03 Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Kedua kubu mengajukan gugatan yang serupa, yaitu mendiskualifikasi Pasangan Calon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan meminta penyelenggaraan ulang Pilpres tanpa pasangan tersebut. Mereka menuding ada kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif yang diawali manipulasi syarat pencalonan Gibran sebagai cawapres.
EKA YUDHA SAPUTRA | AMELIA RAHIMA SARI
Pilihan Editor: Banjir Amicus Curiae di MK, Mengapa Hanya 14 yang Didalami Majelis Hakim?