TEMPO.CO, Jakarta - Tradisi pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) diyakini berasal dari Timur Tengah. Kebiasaan yang lekat dengan Hari Raya Idul Fitri itu diadopsi oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun.
Catatan sejarah mengenai Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16 hingga ke-18 juga menunjukkan adanya sejarah tradisi THR menjelang hari besar. Para raja dan bangsawan terbiasa memberikan uang baru saat Idul Fitri sebagai hadiah kepada anak-anak para pengikutnya.
Antropolog Universitas Airlangga (Unair), Djoko Adi Prasetyo, menyebut THR sebagai salah satu bentuk akulturasi budaya yang berkembang di Indonesia. “Tradisi THR kemungkinan adalah pengejawantahan bentuk sedekah sesuai ajaran Islam,” katanya melalui keterangan resmi yang diterima Tempo pada Senin, 1 April 2024.
“Sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan mereka dalam menyelesaikan ibadah puasa selama sebulan penuh,” kata Djoko
Budaya THR kemudian berkembang menjadi aturan resmi pada awal 1950, persisnya di era kabinet Soekiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri Indonesia dari Partai Masyumi. Salah satu program kerja yang diusung pemerintah saat itu adalah kesejahteraan para pegawai dan aparatur negara—kala itu disebut pamong praja atau PNS. Ide pemberian tunjangan itu sempat mendapat pro dan kontra.
Sempat diprotes kaum Buruh
Pada masa itu THR yang dibayarkan kepada para pegawai pada saat itu berkisaran Rp125 (USD 11) sampai Rp200 (USD 17,5). Tidak hanya uang, Soekiman juga memberikan THR dalam bentuk beras yang diberikan setiap bulannya kepada para pegawai PNS.
Pada tahun pertama pembagian THR, pembagian tersebut berjalan lancar. Namun, pada tahun berikutnya, tepatnya pada 1952, para pekerja mulai memprotes karena THR hanya diberikan kepada pegawai PNS, sehingga mereka merasa tidak adil.
Protes datang dari kelompok buruh yang menuntut pemerintah agar memberlakukan kebijakan yang sama untuk perusahaan-perusahaan terhadap para pekerjanya. Hal ini dilakukan karena para buruh merasa berkontribusi terhadap perekonomian nasional.
Banyak buruh kemudian melakukan aksi mogok kerja untuk menuntut pemerintah agar memberikan tunjangan juga kepada mereka. Sejak saat itu, kabinet Soekiman juga meminta perusahaan swasta untuk memberikan THR kepada para pekerjanya.
Pada akhirnya, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan THR kepada para karyawannya. Sejak saat itu, istilah THR menjadi populer di Indonesia. Meskipun demikian, kebijakan resmi mengenai THR baru dikeluarkan beberapa tahun kemudian setelah pergantian rezim.
Pada masa Orde Baru, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan. Peraturan ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi para pekerja untuk memperoleh THR. Ketika masa Reformasi, peraturan tersebut diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan yang salah satu isinya mengatur tentang THR.
MICHELLE GABRIELA | ANANDA BINTANG | ASMA AMIRAH I NAOMY A. NUGRAHENI | HANNA SEPTIANA
Pilihan Editor: 73 Tahun Sejarah THR, Pertama Kali Digagas Soekiman Wirjosandjojo dengan Uang Rp125- Rp200 dan Beras