INFO NASIONAL – PT Pertamina (Persero) sedang mengembangkan penggunaan minyak goreng bekas untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan Sustainable Aviation Fuel (SAF). SAF merupakan solusi bahan bakar pesawat yang lebih ramah lingkungan.
Dibuat dari campuran bahan bakar jet konvensional dan bahan pencampur berkelanjutan, yang salah satunya dari minyak goreng bekas, SAF dapat langsung digunakan tanpa modifikasi khusus pada pesawat. Campuran ini, dikenal sebagai 'neat SAF', merupakan versi berkelanjutan dari bahan bakar Jet A dan Jet A-1, cocok untuk berbagai jenis pesawat.
“Sudah cukup banyak kajian dengan nongovernment organization (NGO) terkait used cooking oil (UCO) atau minyak goreng bekas, saat ini Pertamina Patra Niaga sedang membuat inisiatif bagaimana cara membuat mekanisme pengumpulannya itu. Jadi ketika nanti kita bisa mendapatkan UCO dari masyarakat, InsyaAllah bisa affordable atau terjangkau,” kata Senior Vice President Research & Technology Innovation Pertamina, Oki Muraza saat hadir menjadi pembicara dalam acara Ngobrol@Tempo dengan tema “Green Aviation Dialogue: Implementasi Sustainable Aviation Fuel di Indonesia” di Gedung Tempo, Jakarta, Selasa 26 Maret 2024.
Saat ini, lanjut dia, untuk kebutuhan penelitian, Pertamina menggunakan UCO yang berasal dari para karyawan. “Kami punya pilot plant di Pulo Gadung, dan itu cukup (menggunakan bahan dari minyak goreng bekas karyawan -red)” Namun, Oki melanjutkan, Pertamina saat ini sedang menyasar kebutuhan nasional.
Diketahui, banyak yang membutuhkan UCO. Komoditas ini pun menarik untuk diekspor karena seluruh dunia juga mencari minyak goreng bekas. “Jadi pencarian minyak goreng bekas ini berlomba,” kata dia. Mau tidak mau, lanjut dia, Indonesia juga harus bersaing dengan negara lainnya.
Baca Juga:
Pertamina berharap regulasi terkait UCO segera diwujudkan. Apalagi regulasi ini juga akan memprioritaskan pasokan minyak goreng bekas ke dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). “Kalau regulasi ini sudah ada pasti akan bagus dan akan sangat membantu.”
Dengan adanya regulasi di tahun ini, lanjut Oki, di tahun 2027 target 1 persen akan tercapai. “Karena bahan bakunya akan kita simpan dulu. Kita buat kerangka regulasi yang memungkinkan untuk memprioritaskan dari dalam negeri. Kita bisa mengejar tahun 2027.
”Untuk bahan baku dari minyak goreng bekas ini, lanjut dia, Pertamina akan melakukan secara bertahap hingga 1 persen tercapai. “Tergantung kemampuan produksi kita, karena yang terpenting lihat keterjangkauannya.” Maskapai, lanjut dia, harus bisa membuat harga terjangkau ketika menggunakan bahan baku ramah lingkungan ini.
Oki yakin, dengan menggunakan bahan baku UCO lebih dapat diterima oleh dunia internasional. “Apalagi kita sudah mempunyai teknologinya,” ujar dia. Dia pun berharap, terdapat kampanye atau sosialisasi terkait minyak goreng bekas, agar masyarakat dapat mengetahui manfaatnya.
Sementara itu, demi keberlanjutan produksi SAF, terdapat tujuh sumber utama bahan baku yang dapat digunakan. Pertama, minyak goreng bekas yang berasal dari lemak nabati atau hewani yang telah digunakan untuk memasak. Kedua, selulosa yaitu berupa residu dari kayu berlebih, pertanian, dan residu hutan. Ketiga, Camelina yaitu tanaman energi dengan kandungan minyak lipid tinggi. Keempat, Jatropha yang menghasilkan biji yang mengandung minyak lipid dan tak dapat dimakan.
Kelima, Halophyta yaitu rumput rawa asin. Keenam, Alga yaitu tanaman mikroskopis yang tumbuh di air tercemar atau asin, memberikan kontribusi dari karbondioksida. Dan ketujuh, limbah padat kota yang berasal dari rumah tangga dan bisnis.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Edi Wibowo mengatakan, potensi penggunaan bahan baku minyak goreng bekas tidak diketahui dengan pasti. Namun, saat ini teknologinya sudah berkembang di Pertamina.
Masyarakat, lanjut dia, juga sudah mulai membuat gerakan untuk mengumpulkan minyak goreng bekas. “Terdapat juga beberapa NGO yang mengumpulkan,” kata dia. Sayang, meskipun sudah dikumpulkan tetapi pemanfaatannya belum. “Saat ini sudah ada pengepul minyak goreng bekas, tapi untuk ekspor.” Untuk membuat kebijakan DMO agar tidak mengekspor minyak goreng bekas, kata Edi, harus dipastikan dahulu penyerapannya di dalam negeri.
Edi berharap, industri penerbangan suatu saat dapat dijalani bersama dan berkembang dengan baik. “Jangan sampai Indonesia hanya menjadi pengguna saja, tetapi ke depan juga dapat menjadi pemain,” kata dia. (*)