TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan menteri yang menolak bersaksi setelah diminta hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bisa dikenakan pidana.
Herdiansyah mengatakan Hakim Konstitusi bisa memanggil paksa menteri untuk bersaksi di sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Ia menjelaskan dalam hukum acara ada prinsip actori in cumbit onus probandi, yakni orang yang mendalilkan yang harus membuktikan.
“Tetapi dalam pembuktian di Mahkamah Konstitusi, majelis hakim bisa bertindak sebagai pihak yang dapat menghadirkan saksi untuk didengar kesaksiannya di hadapan peradilan,” kata Herdiansyah kepada Tempo, Sabtu, 30 April 2024.
Sehingga menteri yang menolak hadir saat dipanggil secara patut oleh Mahkamah Konstitusi bisa dikategorikan sebagai bentuk penghinaan tehadap peradilan (contempt of court). Bahkan, kata Herdiansyah, menteri bisa dikenakan pidana.
“Ini juga sekaligus menunjukkan pembangkangan terhadap hukum. Kan lucu kalau seorang menteri justru tidak patuh terhadap hukum,” tutur dia.
Terkait prosedur teknis pemanggilan, Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan pemohon bisa mengajukan surat tertulis untuk meminta majelis hakim menghadirkan menteri.
“Tinggal nanti Mahkamah mengabulkan atau tidak. Biasanya nanti akan dinilai seberapa penting kesaksian itu dan didengarkan di persidangan,” kata Charles.
Charles mengatakan tidak ada pihak manapun yang bisa melarang menteri atau pejabat institusi untuk hadir di persidangan, bahkan presiden sekalipun. Menurut Charles, pihak yang melarang bisa terancam pasal perintangan peradilan atau obstruction of justice.
“Ada hukum pidana kalau orang yg disuruh hadir dilarang jadi saksi. Kalau atasan melarang bawahannya bersaksi itu sama saja mengintimidasi saksi pakai cara-cara formal,” kata Charles.
Dalam sidang PHPU hari kedua, tim hukum Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md., mengajukan permohonan kepada hakim agar menghadirkan Menteri Keuangan (Sri Mulyani), Menteri Sosial (Tri Rismaharini), Menteri Perdagangan (Zulkifli Hasan), Menteri Koordinator Perekonomian (Airlangga Hartarto) sebagai saksi, terkait dugaan indikasi berkaitan dengan dugaan kecurangan pelaksanaan Pemilu.
Kedua kubu tersebut menilai, menteri-menteri tersebut bisa memberikan keterangan terkait keterlibatan pejabat hingga kebijakan penyaluran bantuan sosial (Bansos) yang diduga dipolitisasi untuk memenangkan Prabowo-Gibran.
"Kami banyak sekali mengajukan hal-hal berkaitan dengan bansos, kebijakan fiskal, dan lain-lain, maka maka kami juga ingin mengajukan permohonan yang sama," ucap Ketua Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis dalam persidangan.
Ari Amir Yusuf, Ketua Tim Hukum Anies-Muhaimin, mengatakan kesaksian para menteri ini penting untuk memperjalas soal program bansos dan alokasi anggaran. Kesaksian mereka akan menjadikan titik terang dugaan penggunaan APBN untuk memenangkan pasangan tertentu.
“Keterangan mereka akan disandingkan dengan bukti yang ditemukan tim kami,” kata Ari kepada Tempo di Gedung MK, Kamis kemarin.
Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, tidak langsung mengiyakan permintaan kedua pemohon, namun majelis akan mempertimbangkan terlebih dahulu apakah akan memanggil para menteri.
EKA YUDHA SAPUTRA | AMELIA RAHIMA SARI
Pilihan editor: Gudang Peluru TNI Kebakaran, Damkar Bekasi Turunkan 3 Armada