TEMPO.CO, Jakarta - Seorang mahasiswa Universitas Internasional Batam Teja Maulana Hakim mengajukan permohonan uji materiil Undang-undang tentang Partai Politik memyangkut pembekuan dan pembubaran partai politik. Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian memutuskan permohonan ini tidak dapat diterima.
"Amar putusan mengadili menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di Jakarta pada Rabu, 20 Maret 2024.
Baca Juga:
Adapun alasan permohonan tidak dapat diterima adalah karena MK tidak menemukan keterkaitan antara penjelasan pemohon dengan proses seleksi jabatan oleh partai politik, sehingga muncul anggota partai yang menjadi penyelenggara negara tersandung korupsi.
Terlebih, Teja adalah mahasiswa Fakultas Hukum saja. Sehingga MK menilai kualifikasinya tidak cukup meyakinkan adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat khusus dan aktual.
Dalam perkara 15/PUU/-XXII/2024 ini, Teja meminta MK melakukan uji materiil terhadap UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU 2/2008, yakni:
1. Pasal 40 ayat (2) huruf b, yang berbunyi "partai politik dilarang: b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia";
2. Pasal 48 ayat (2) yang berbunyi "pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana ... Pasal 40 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara Partai Politik ... sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri paling lama 1 tahun";
3. Pasal 48 ayat (3) yang berbunyi "partai politik yang telah dibekukan sementara ... dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan ... Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi".
Dalam petitum atau tuntutannya, Teja meminta MK untuk:
1. Mengabulkan permohonannya secara keseluruhan;
2. Menyatakan Pasal 40 ayat (2) huruf b bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai 'kegiatan lainnya dapat berupa anggota partai politik melakukan tindak pidana korupsi minimal 10 kali';
3. Menyatakan Pasal 48 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
4. Menyatakan Pasal 48 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai 'partai politik yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan ... dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi'.
Namun, dalam Putusan 15 ini, ada hakim yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion. Hakim tersebut adalah Suhartoyo, Saldi Isra, dan Arsul Sani.
"Pada pokoknya, ketiga hakim dimaksud berpendapat bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo (tersebut), dan oleh karena itu Mahkamah seharusnya mempertimbangkan pokok permohonan," ucap Suhartoyo.
Pilihan Editor: Jika 5 Parpol Tidak Gerakkan Hak Angket DPR, Pakar Hukum Tata Negara Sebut Ini yang Terjadi