TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Koentjoro Soeparno menyampaikan agar aparatur negara dan masyarakat dapat membedakan posisi Presiden Joko Widodo alias Jokowi sebagai presiden atau sebagai ayah dari Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden nomor urut 2.
Menurut Koentjoro seorang presiden dapat memiliki banyak peran. “Kita harus tau dia sebagai presiden atau bapaknya Gibran. Kenapa Jokowi itu dulu banyak dipuji, tapi kemudian setelah MK dia banyak dihujat?” ujar Koentjoro, kepada Tempo.co, pada Selasa, 19 April 2024 di Yogyakarta.
Bagi Koentjoro, hal tersebut terjadi lantaran Jokowi tak memisahkan perannya sebagai presiden dan ayah dari Gibran. Justru, kata Koentjoro, yang dijalankan Jokowi hari ini adalah perannya sebagai ayah dari Gibran. “Kemudian, Jokowi itu, hasratnya sebagai pemimpin, itu libidonya masih ada terus dan dia sekarang menggunakan Gibran,” kata dia.
Dari situ munculah, suara dari kampus, yakni Petisi Bulaksumur, pada Rabu, 31 Januari 2024. Koentjoro pun turut membacakan petisi tersebut. Setelah petisi itu, Jokowi turut merespons suara dari almamaternya itu. “Ya itu hak demokrasi," kata Jokowi dalam keterangan pers di Pasar Wonogiri, Jawa Tengah, pada Kamis, 1 Februari 2024, dikutip dari video Sekretariat Presiden.
Namun, di sisi lain, kata Koentjoro, pengikut Jokowi menganggap Petisi Bulaksumur sebagai gerakan partisan. Pernyataan dari berbagai perguruan tinggi yang disamakan dengan suara partai politik, katanya, merupakan kesalahan besar. “Saya itu dosen dan tugas saya mengedukasi masyarakat,” ujarnya.
Menurut Koentjoro, pernyataan atau petisi dari berbagai perguruan tinggi dalam merespons kondisi demokrasi hari ini adalah tanggung jawab intelektual para akademisi. Oleh karena itu, katanya, memperjuangkan kebenaran dan keadilan itu pantang mundur. “Makanya saya juga melihat, tolong kalau misalnya ada gerakan seperti itu kita harus memperhatikan siapa yang berbicara,” ujarnya.
Pesan kepada mahasiswa
Lebih lanjut, Koentjoro menitipkan pesan kepada para mahasiswa. Menurutnya, kondisi hari ini menjadi kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar politik. “Kalau mahasiswa hari ini tidak turun dan berpikir, maka Indonesia akan jadi seperti apa?” tanya Koentjoro.
Hari ini banyak orang berbicara tentang Indonesia Emas, tapi bagi Koentjoro, yang ada justru Indonesia Cemas. Hal ini disebabkan oleh banyaknya mahasiswa yang dibungkam dan tidak diajari berpolitik. “Berpolitik itu adalah belajar hak ihwal bernegara,” jelasnya.
Teror yang dialami Prof Koentjoro
Setelah membacakan Petisi Bulaksumur, Koentjoro berulang kali diserang oleh buzzer melalui di akun Instagram pribadinya. “Kalau yang dari Instagram lebih canggih, itu lebih sistematis. Karena kemudian ketika ada apa, mereka langsung nimbrung banyak. Kemudian saya katakan kalau ini buzzer mesti,” jelasnya.
Tak hanya diserang melalui buzzer di media sosial, Koentjoro pun sempat dicari oleh orang tak dikenal yang datang ke Fakultas Psikologi UGM. Orang tak dikenal itu pun ditemui oleh Juni Prianto, anggota Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) Fakultas Psikologi yang tengah bertugas hari itu.
Menurut pengakuan Juni, pagi sekitar pukul 10.00 WIB, seseorang tak dikenal itu duduk di dekat kanopi sambil mengaji dengan keras. Karena dianggap mengganggu proses perkuliahan, Juni menghampiri orang itu. Orang tak dikenal itu pun menyampaikan niatnya untuk bertemu dengan Koentjoro.
“Kalau saya gak turun gunung dan ketemu Pak Koen, ya negara ini rusak,” ujar Juni, kepada Tempo, menirukan ucapan orang tak dikenal itu, pada Selasa, 19 Maret 2024.
Kalau menurut SOP kami, kata Juni, ketemu dengan dosen atau pejabat itu harus konfirmasi dulu. “Waktu itu bapaknya ngaku dari Kalimantan. Dia naik bentor, orangnya tinggi tapi badannya tidak begitu besar. Ia pakai setelan rapi,” ujar Juni.
Terbaru, Koentjoro mendapat teror melalui pesan WhatsApp (WA) ke nomor pribadinya, pada Sabtu, 16 Maret 2024. Teror itu datang setelah ia terlibat aksi “Kampus Menggugat: Tegakkan Etika & Konstitusi, Perkuat Demokrasi” pada Selasa, 12 Maret 2024 yang digelar di Balairung UGM.
Isi pesan itu sendiri berbunyi, “Pemilu curang, pemilu curang. Mbah mu u u u. Koe arep mbelo koncomu 03 to, oalah pak tue pak tue… Aku wong jateng ae ora srek kok karo Ganjar. Kok koe mbelo mbelo ngomong pemilu curang, arep jatah jabatan to nek menang…isin karo jenggotmu kui lo..,” tulis pesan yang dikirim pukul 06.45 WIB itu.
Diketahui seseorang yang mengirim pesan itu sebelumnya menggunakan foto profil logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawahnya bertuliskan yang bertuliskan Pelayanan dan Pengaduan Masyarakat KPK. Menurut Koentjoro, selepas membalas, foto profil orang itu kemudian dihapus. Koentjoro pun mencoba melacak pengirim pesan tak dikenal itu dengan meminta bantuan temannya. Pengirim pesan pun teridentifikasi sebagai seorang penipu. “Lokasinya di Batam,” kata Koentjoro.
Pilihan Editor: Guru Besar UGM Diteror Berulang Kali Usai petisi Bulaksumur dan Kampus Menggugat, Prof Koentrojo: Saya Tidak Pernah Takut