TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuka rincian penyumbang dana kampanye yang tertera dalam Laporan Penerimaan dan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) terhadap peserta Pemilu 2024.
Egi Primayogha, Kepala Divisi Korupsi Politik ICW, mengatakan KPU harus membuka informasi nama-nama penyumbang korporasi maupun individu kepada para kontestan Pemilu secara mendetail.
“Kami mendesak KPU membuka akses dan memberikan seluruh informasi sebagaimana ICW minta tanpa terkecuali,” kata Egi lewat keterangan tertulisnya, Jumat, 15 Maret 2024.
Menurut Egi, apabila informasi tersebut dibuka, selain dapat memenuhi asas transparan dari UU Pemilu, informasi tersebut dapat membantu untuk melihat donatur maupun cukong politik yang selama ini menjadikan iklim demokrasi elektoral di Indonesia menjadi sangat transaksional dan penuh balas budi.
“Bahkan tidak jarang berujung pada tindak pidana korupsi,” kata Egi.
Pada 13 Maret 2024, Komisi Informasi Pusat (KIP) menggelar sidang sengketa informasi terhadap KPU. Sidang tersebut merupakan buntut dari tidak digubrisnya permohonan informasi yang dilayangkan ICW kepada KPU pada 11 Juni 2023.
Adapun sejumlah informasi yang dimohonkan antara lain laporan dana kampanye periode 2014–2023 untuk pemilihan legislatif dan pilpres, daftar tim kampanye di seluruh pemilihan umum dari tahun 2014–2019, serta daftar riwayat hidup seluruh calon legislatif dan calon kepala daerah dalam rentang waktu 2014–2022.
Pada persidangan sengketa informasi, pihak perwakilan KPU yang hadir menegaskan bahwa tidak akan memberikan informasi mengenai riwayat hidup dan sistem informasi dana kampanye. KPU berdalih informasi-informasi tersebut bersifat dikecualikan dari akses publik.
“Majelis Komisioner sempat menegur pihak KPU karena pengecualian tersebut dilakukan tanpa uji konsekuensi terdahulu, sebagaimana diatur oleh UU Keterbukaan Informasi Publik,” kata Egi.
KPU menyatakan bahwa informasi mengenai laporan dana kampanye dan daftar tim kampanye merupakan informasi yang terbuka, oleh karena itu, proses sidang dilanjutkan dengan tahapan mediasi antara ICW dan KPU. Akan tetapi, dalam proses tersebut KPU enggan membuka secara rinci informasi penyumbang dana kampanye yang tertera dalam LPDSK. Padahal, tutur Egi, ICW telah menegaskan urgensi dibukanya informasi nama-nama penyumbang korporasi maupun individu kepada para peserta pemilu secara mendetail.
KPU bersikeras membuka informasi tersebut dengan alasan khawatir nama-nama individu tadi masuk ke dalam kategori data pribadi.
Menurut Egi, argumentasi KPU tersebut menunjukkan KPU gagal memahami permasalahan korupsi pemilu yang telah mengakar, yaitu sumbangan-sumbangan pihak tertentu yang mempengaruhi pengambilan kebijakan publik.
“Dalam memberikan sumbangan, acapkali pihak tersebut berharap akan mendapatkan imbalan ketika kandidat memenangkan kontestasi pemilu. Guna membalasnya, kandidat yang telah menduduki jabatan publik tersebut seringkali merampas sumber daya publik,” kata Egi.
ICW mendesak KPU untuk memahami kembali semangat transparansi dan keterbukaan informasi yang tertuang setidaknya dalam UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Pemilu. Di samping itu, ICW meminta KPU tidak melindungi para cukong politik yang berpotensi mengarahkan kebijakan publik untuk kepentingan mereka.
Pilihan Editor: Cawe-cawe Jokowi di Pilpres 2024 Dipertanyakan dalam Sidang Komite HAM PBB