TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Nur Ramadhan, mengatakan ambang batas parlemen bukan satu-satunya jalan untuk menyederhanakan jumlah partai politik.
Menurut Ramadhan, seleksi ketat saat proses verifikasi peserta pemilu juga turut andil dalam penyederhanaan partai politik. Namun tahapan ini sering kali diabaikan dan penyelenggara pemilu kerapkali melonggarkan aturan ini.
“Banyak temuan yang kemudian seakan-akan melonggarkan ketentuan pendaftaran partai politik. Kemudian partai-partai ini ditetapkan oleh penyelenggara yang sebenarnya tidak memenuhi syarat,” kata Muhammad Nur Ramadhan saat dihubungi Tempo, Kamis, 29 Februari 2024.
Oleh karena itu, menurut Ramadhan, penegakan terhadap aturan seleksi partai politik seharusnya bisa menyederhanakan partai politik. “Jadi parliamentary threshold bukan satu-satunya jalan,” tuturnya.
Pada Kamis 29 Februari 2024, Mahkamah Konstitusi menghapus ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen. Ambang batas parlemen 4 persen ini diatur dalam Pasal 414 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Ambang batas 4 persen ini digugat oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem pada 28 Agustus 2023. Gugatan uji materi mereka tercatat dengan nomor perkara 116/PUU-XXI/2023.
Dalam pembacaan putusan, Ketua MK Suhartoyo menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum masih berlaku untuk Pemilu 2024. Namun Majelis Mahkamah memutuskan pasal tersebut konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya. MK meminta pembuat undang-undang agar mengubah besaran angka parlemen threshold sesuai dengan pedoman dan dasar perhitungan.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan,” kata Suhartoyo membacakan Amar Putusan.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, Mahkamah tidak menemukan dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional. Bahkan, kata Saldi, merujuk keterangan pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR, Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dan penghitungan dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4 persen.
Direktur Perludem, Khoirunnisa Agustyati, mengapresiasi putusan MK yang menghapus Pasal 414 ayat 1 terkait ambang batas parlemen 4 persen. Menurut dia, angka 4 persen ditetapkan pembuat undang-undang tanpa alasan rasional.
“Alih-alih menyederhanakan partai, penerapan angka presidential threshold yang terus naik justru semakin meningkatkan suara terbuang dan menyebabkan hasil pemilu tidak proporsional,” kata dia.
Pilihan Editor: Pakar Minta Perumusan Parliamentary Threshold dengan Pertimbangkan Kedaulatan Rakyat dan Proporsionalitas