TEMPO.CO, Jakarta - Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut 3 mendorong partai politik pendukungnya, termasuk PDIP dan PPP di parlemen untuk mengusulkan hak angket guna menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024.
Usulan tersebut muncul seiring dengan adanya berbagai tudingan kecurangan pemilu 2024. Meskipun demikian, usulan Ganjar tersebut tidak mendapat dukungan dari partai politik yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Wacana membawa dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 ke ranah hak angket pertama kali diajukan oleh calon presiden Ganjar. Menurutnya, hak angket merupakan solusi terbaik dalam menghadapi kondisi pemilu yang seperti ini.
"Kalau saya sebenarnya simpel aja, angket itu adalah cara terbaik dengan kondisi pemilu seperti ini," kata Ganjar, usai pertemuan dengan Tim Koordinator Relawan Pemenangan Presiden (TKRPP), di Jakarta, pada Jumat, 23 Februari 2024.
Sebagai lembaga legislatif, hak angket telah menjadi instrumen yang digunakan DPR untuk menyelidiki berbagai kasus dan kebijakan yang dianggap penting bagi negara.
Sejumlah presiden di Indonesia telah menjadi sasaran hak angket yang diajukan oleh DPR. Dari era Sukarno hingga saat ini, berikut adalah enam presiden yang pernah menjadi subjek hak angket oleh DPR.
Sukarno
DPR pertama kali menggunakan Hak Angket pada 1950-an dengan tujuan menyelidiki untung-rugi penggunaan devisa oleh pemerintah, sesuai dengan Undang-Undang Pengawasan Devisen tahun 1940. Usulan ini diajukan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Agung R. Margono Djojohadikusumo dan 12 anggota DPR lainnya. Meskipun demikian, nasib usulan tersebut tidak terlaksana hingga terbentuknya kabinet hasil Pemilu 1955.
Soeharto
Pada tahun 1980-an, DPR menggunakan hak angket untuk kedua kalinya. Hak angket ini diajukan atas ketidakpuasan DPR terhadap jawaban Presiden Soeharto terkait kasus yang melibatkan H. Thahir dan Pertamina. Meskipun Menteri Sekretaris Negara Sudharmono memberikan penjelasan dalam Sidang Pleno DPR pada 21 Juli 1980, usulan hak angket tersebut ditolak oleh sidang pleno DPR.
Gus Dur
Pada masa pemerintahan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, DPR kembali menggunakan hak angket. Kasus yang diselidiki meliputi Buloggate dan Bruneigate, terkait dengan skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei Darussalam.
Hak angket ini digulirkan sebagai respons terhadap memorandum pembubaran parlemen yang dikeluarkan oleh Gus Dur. Meskipun demikian, hal ini dinilai sebagai senjata oposisi untuk menjatuhkan Gus Dur yang akhirnya lengser pada 23 Juli 2001.
Megawati
Di era pemerintahan Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri, terjadi dugaan penyelewengan dana nonbujeter Bulog yang merugikan negara sebesar Rp 40 miliar. DPR kemudian mengajukan hak angket untuk menyelidiki kasus ini. Meskipun pengadilan telah menjatuhkan vonis terhadap pejabat yang terlibat, penggunaan hak angket oleh DPR membuat keputusan pengadilan tersebut menjadi tidak berarti.
SBY
Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki beberapa kasus penting. Salah satunya adalah penjualan dua unit kapal tanker VLCC Pertamina pada 2004. Hak angket ini dilakukan setelah Komite Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menemukan kesalahan dalam penjualan tersebut. DPR membentuk panitia khusus pada 7 Juni 2005 setelah hak angket disetujui.
Tidak hanya itu, DPR juga menggunakan hak angketnya terkait kasus impor beras pada 2006. Meskipun Presiden SBY memanggil 11 menteri terkait pada 17 Januari 2006, sidang paripurna DPR menolak hak angket dan hak interpelasi terkait impor beras. Kasus lainnya yang juga menjadi perhatian DPR pada masa itu adalah penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 2008. Meskipun usulan hak angket muncul setelah penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan, DPR gagal menyetujuinya.
Selain itu, pada Pemilu 2009, DPR juga mengajukan hak angket terkait penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menuai kontroversi. Anggota Fraksi PDI Perjuangan, Gayus Lumbuun, dipilih sebagai ketua pansus angket untuk menginvestigasi masalah tersebut. Di antara semua kasus tersebut, kasus Bank Century pada 2009 juga mencuat sebagai isu yang mendesak. DPR merasa perlu menggunakan hak angketnya untuk menyelesaikan persoalan yang dianggap merugikan negara dan masyarakat.
Jokowi
Pada 28 April 2017, DPR menyetujui penggunaan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keputusan ini diambil ketika Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah secara tiba-tiba mengetok palu persetujuan, meskipun terjadi hujan interupsi saat anggota DPR sedang mendengarkan sikap fraksi. Insiden tersebut menyebabkan beberapa anggota DPR meninggalkan ruangan. Fraksi Gerindra, Partai Demokrat, dan PKB akhirnya menolak usulan hak angket tersebut.
Pengajuan hak angket ini muncul setelah KPK menolak memberikan rekaman berita acara pemeriksaan (BAP) Miryam Haryani terkait kasus e-KTP. BAP tersebut mencantumkan sejumlah nama besar anggota dan mantan anggota DPR. Keputusan tersebut memicu kontroversi di DPR dan berujung pada persetujuan penggunaan hak angket sebagai respons terhadap penolakan KPK.
PUTRI SAFIRA PITALOKA | YUDONO YANUAR | SAPTO YUNUS | MICHELLE GABRIELA MOMOLE | HENDRIK KHOIRUL MUHID
Pilihan Editor: Membedah Hak Angket DPR