TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Feri Amsari menuding Komisi Pemilihan Umum atau KPU terlibat dalam tindakan kecurangan Pemilu 2024. Dugaan itu tercermin dari banyaknya daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak memperoleh haknya, sulitnya pindah memilih, hingga persoalan Sirekap.
"Saya tidak melihat ada iktikad baik dari penyelenggara untuk memastikan orang bisa memenuhi haknya. Misalnya, tidak dipikirkan oleh penyelenggara membangun program untuk orang mudah pindah memilih," katanya pada Kamis, 22 Februari 2024 dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil.
Penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Saat ini, kartu tanda penduduk masyarakat Indonesia sudah bersifat elektronik. Dengan demikian, kata Feri, mestinya membuat proses pindah memilih jauh lebih mudah. Misalnya, KPU dapat membuat posko pindah memilih di lokasi TPS.
Dia mengatakan banyak masyarakat yang datang ke TPS, tapi justru berujung kecewa. Alasannya karena belum terdaftar sebagai DPT atau belum memiliki formulir pindah memilih. Hal ini, kata dia, mengakibatkan penyelenggara dianggap tidak memberikan kesempatan yang luas bagi pemilih.
"Padahal kalau penyelenggara memudahkan mereka, mungkin pemilih yang tidak paham itu bisa paham. Ketika mereka datang, hak-hak mereka tetap diberi. Jadi, penyelenggara tidak terlalu kreatif," ujarnya.
Feri menilai setelah hari pemungutan suara, KPU justru lebih tidak kreatif lagi, tepatnya dalam persoalan Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap). Aplikasi tersebut, kata dia, masih saja menerima sesuatu yang tidak masuk akal.
"Misalnya ada 800 suara, 700, bahkan ribuan suara. Padahal, masing-masing TPS itu maksimum bisa menerima 300 suara suara. Jadi, batasan orang bisa memilih T1 TPS kurang lebih 300 suara. Kenapa tidak dibuat sistem yang sangat sederhana, kalau ada orang yang menginput sesuatu lebih dari 300, pasti ditolak," tutur dosen Universitas Andalas itu.
Menurut Feri, mestinya KPU membuat sistem yang mampu menolak apabila suara yang dikirimkan lebih dari 300. Dia heran mengapa KPU tidak mampu membuat sistem yang demikian.
"Dugaan saya, terutama, KPU memang ikut terlibat membangun proses kecurangan. Membuat sistem yang sebenarnya sederhana, terlihat menjadi begitu gampang untuk bermasalah. Di titik-titik itu, peran penyelenggara menurut saya sangat bermasalah," ujarnya.
Koalisi Masyarakat Sipil yang berisikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat mencatat 105 dugaan kecurangan di 10 provinsi dalam Pemilu 2024. Sebanyak 31 kecurangan di antaranya terjadi dalam Pilpres, 34 dugaan dalam Pileg, 10 dugaan dalam Pileg-Pilpres, serta 29 kecurangan umum lain yang misalnya terkait dengan profesionalitas penyelenggara Pemilu.
"Pemantauan oleh teman-teman ini hanya mempertegas bahwa (jika) proses bermasalah, hasil juga bermasalah. Salah satunya diindikasikan dari kacaunya proses Sirekap," ucap Feri.
Sebelumnya, kata dia, sejumlah kecurangan lain dalam proses Pemilu telah lebih dulu dilaporkan. Mulai dari penunjukan pejabat, kebijakan bantuan sosial (Bansos) politik gentong babi, hingga pengerahan kepala desa.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.