TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari membantah bahwa pemilihan umum atau Pemilu 2024, merupakan pemilu terburuk setelah Reformasi 1998. "Menurut saya enggak, soal baik dan buruk saya tidak bisa menilai sendiri," kata Hasyim kepada Tempo di ruang kerjanya lantai II, Gedung KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 22 Februari 2024.
Namun, menurut Hasyim, kecenderungan yang terjadi, dalam setiap pemilihan pergantian rezim itu terjadi fenomena. Hal itu tertuang dalam teori politik dengan sebutan protest voting. "Itu tandanya orang berbandong-bondong berpartisipasi hadir (mengikuti pemilu)," kata dia.
"Protest voting tidak selalu negatif. Semangat orang untuk berpemilu, bersikap kritis, hadir, apa pun bentuk partisipasinya, itu biasanya terjadi ketika mau pergantian rezim," tutur Hasyim.
Hasyim juga menilai sejauh ini partisipasi publik terhadap pemilu sangat baik, yang terlihat dari perhatian publik untuk ikut mengamati pemilu. "Semangat orang untuk 'Ayo cermati pemilu' itu luar biasa," kata Hasyim.
Dalam situasi lain, ada juga yang memprotes soal proses pemilu yang diduga terjadi banyak masalah. Protes itu bagi Hasyim tidak buruk. Bahkan, kata dia, ada perdebatan di ruang publik tentang debat yang berlangsung selama seminggu. "Berarti ada antusiasme," tutur dia.
Baca Juga:
Salah satu orang yang menyebut pemlihan kali ini sebagai pemilu terburuk adalah dosen ilmu politik Universitas Pembangunan Nasional atau UPN Veteran Jakarta, Damar Juniarto. Dia mengaku prihatin dengan kondisi demokrasi jelang Pemilu 2024. Bahkan, ia menilai Pemilu 2024 yang terburuk dan mengerikan.
"Dibandingkan dengan periode-periode pemilu sebelumnya, juga apa yang kita lihat hari ini adalah pemilu yang menurut catatan saya pribadi terburuk dan mengerikan karena kita berada di titik nadir terendah," kata Damar di Gedung Rektorat UPN Veteran di Pondok Labu, Jakarta Selatan, Selasa, 6 Februari lalu.
Kritik Damar itu disampaikan usai seruan "Bela Negara untuk Menyelamatkan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas" di kampus. Dia mengaku tak pernah menyaksikan kondisi sebesar ini dalam beberapa tahun terakhir.
Protes terhadap pemilu bermunculan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden 40 tahun dengan tambahan frasa "pernah atau sedang menjabat kepala daerah". Putusan itu dianggap menjadi karpet merah buat Gibran Rakabuming Raka dicalonkan sebagai cawapres.
"Mungkin yang terakhir 1999 dan kembali muncul, artinya memang ini adalah sebuah keresahan yang orang khawatir, kalau ini tidak dijaga dan disuarakan dari kampus, ini akan melenceng dan kembali pada masa-masa otoritarianisme," tutur Damar.